Tuesday, June 25, 2013

SPTB



Surat Pernyataan Tanda Buktidiri atau SPTB adalah sebuah format isian yang pada dasarnya merupakan pernyataan dari para penerima pensiun, baik pensiun bagi dirinya sendirinya maupun pensiun janda/duda. Setiap tahun mereka harus mengisi dan menyerahkan formulir ini kepada provider penyelenggara dana pensiun bagi pegawai negeri, baik sipil maupun militer, seperti PT. Taspen atau Asabri. Intinya, SPTB merupakan alat bukti bahwa mereka masih hidup dan masih berhak menerima pensiun. Karena ada hal-hal tertentu yang bsia menggugurkan hak mereka sebagai penerima pensiun, seperti tentu saja kalau yang bersangkutan atau suami/istrinya sudah meninggal dunia atau jika pensiun janda/duda, hak tersebut akan gugur jika mereka sudah menikah lagi. Begitupun jika ahli waris, terutama anak-anaknya, sudah tidak berhak masuk tanggungan, karena sudah bekerja atau sudah menikah misalnya.

Lembaran yang berukuran kertas kwarto atau A4 ini, selain berisi data diri penerima pensiun juga data nama-nama mereka yang masih masuk tanggungan, seperti suami/istri dan anak-anaknya yang belum dewasa (dan seperti kebijakan pada PNS aktif, biasanya dibatasi hingga dua anak saja). Selain itu, di bagian  bawah kiri juga terdapat dua orang saksi yang biasanya sudah ditentukan saksi tersebut adalah  pejabat RT dan RW steempat. Kemudian sejajar dengan register RT dan RW, disebelah kanannya terdapat pengesahan dari pejabat Kelurahan atau Desa. Diantara kolom saksi dan Lurah/Kepala Desa, terdapat pas foto yang bersangkutan  berukuran 4x6. Posisi foto yang berada diantara tanda tangan dan stempel jabatan tersebut, seringkali menjadikan wajah yang ada dalam pas foto sebagai korban dari kesewenang-wenangan stempel yang kadang nyasar ke wajah pemohon.... oh my goodness!

Pencantuman RT dan RW sebagai saksi menurut saya merupakan penerapan prinsip birokrasi ala Max Weber dalam pembagian kerja dan kewenangan. Bisa dipahami karena pihak kelurahan apalagi provider tidak mungkin hafal warganya satu persatu, secara berjenjang pola ini akan menjadi satu mata rantai tanggung jawab, artinya bisa terjadi data yang salah (sengaja disalahkan) dan menyebabkan kerugian keuangan negara, tentu saja mereka yang menandatangani harus siap-siap menerima pasal turut serta, meski mungkin kesalahan tersebut lebih karena tidak tahu menahu atau ketidaksengajaan. Jika di tingkat RT atau RW, penandatangan tidak terlalu dipermasalahkan, selama ada stempel organisasi, maka di tingkat Kelurahan biasanya penandatangan harus selalu Lurah atau Kepala Desa, aturan yang menurut saya sangat merepotkan dan seperti tidak faham tata acara organisasi, karena selama yang bertandatangan memiliki kewenangan atau sudah didelegasikan dan ada legalisasi melalui stempel, itu adalah pengesahan yang normal dan legal.     

Yang terjadi kemudian, adalah antrian warga yang sebagian besar berusia lanjut di kantor-kantor Kelurahan pada awal-awal tahun, atau paling tidak berkas-berkas yang menumpuk di meja Kepala Kelurahan/Desa. Banyaknya kegiatan Lurah/Kepala Desa di luar kantor terkadang menyebabkan antrian warna di ruang pelayanan¸ yang  kebanyakan jauh dari standar minimal pelayanan: panas, sumpek, kursi yang keras, petugas yang lebih mirip polisi di film India, kondisi tersebut tak pelak seringkali diwarnai sumpah serapah, gerutuan, bahkan makian.  Bercampur dengan batuk-batuk dari tubuh-tubuh renta.....

Suatu masa dulu, saya pernah mendapatkan kesempatan menandatangani surat-surat tersebut selama empat tahun. Dengan perasaan yang campuk aduk. Saya seringkali memandangi foto-foto yang ada di tengah-tengah formulir, membayangkan kegagahan mereka ketika mereka masih bertugas. Seingat saya dulu ada yang bekas profesor, wakil gubernur, walikota, pangdam dan beragam jabatan lainnya. Tentu mudah membedakan mana yang dulunya berpangkat dan yang tidak, setidaknya kalau datang sendiri dan mau ngantri tentu saja dapat ditebak di kelas mana dulu mereka dulu berkarya. Nah, kalau suratnya yang nganterin adalah supir kerabat atau ajudannya (sudah pensiun masih punya ajudan? keren..) dapat dipastikan beliau–beliau ini adalah pejabat tinggi dulunya. Satu lagi.... terkadang suka lupa melengkapi dengan surat pengantar RT/RW.... ha3..

Perasaan lainnya adalah respek dan kekaguman saya bercampur iri dengan mereka yang sudah mampu menyelesaikan tugasnya secara paripurna. Siapapun mereka, apapun jabatannya. Saya selalu mengucapkan selamat sudah berhasil melewati satu fase kehidupan kariernya. Sukses telah melewati rimba kehidupan aparatur negara di negara yang terlalu sering disebut dan menjadi olok-olok di seminar sebagai negara dengan penyakit birokrasi akut ketimbang prestasi positifnya. Rimba yang penuh dengan berbagai macam jebakan, tipu daya, sikut-sikutan, konspirasi, dan tentu saja penuh dengan karnivor yang haus darah. Jikapun mereka dulunya adalah karnivor, mereka telah sukses dan berhasil lulus dan luput dari terkaman predator.

Hormat dan respek saya untuk yang masih bertahan di rimba raya dan mereka yang berhasil melewatinya.


No comments:

Post a Comment