Friday, August 16, 2013

A JOUNEY TO EAST (Catatan Liburan Lebaran)



Ini catatan tentang liburan lebaran kami. Bukan sesuatu yang luar biasa memang, tapi bagi saya ini adalah satu hal yang sangat berkesan dan sayang untuk tidak ditaruh dalam salah ruang dalam blog ini. Liburan seperti ini juga bukan yang pertama, tapi yang jelas sudah lama sekali kami tidak melakukan. Entah kapan terakhir kami melakukan family travelling seperti liburan lebaran kali ini. Kami yang saya maksud adalah keluarga besar mertua saya, H. Ahmad Satari alm. Ini liburan tiga generasi, kami (anak-anak beliau), cucu-cucu atau anak-anak kami dan tentu saja beliau. Beliau yang saya maksud tentu saja tinggal nenek atau ibu dari istri saya tercinta karena sang kakek atau bapak mertua beberapa bulan yang lalu wafat....  Ya, ini perjalanan liburan kami yang pertama tanpa beliau.
Etape Satu
Jadilah kami melakukan liburan sekaligus silaturahmi dengan keluarga saya di Semarang, kebetulan masih ada nenek dan bulik (adik ibu) disana. Dan rumah sederhana di bilangan Semarang timur itu menjadi meeting point rombongan dari Bandung dengan Ibu dan adik-adik saya dari Yogyakarta. It’s fair options to celebrate the eid festival ya...
Perjalanan ini seperti biasa memakai manajemen dadakan karena keputusan untuk melakukan perjalanan ini diambil satu hari sebelum hari-h. Ini tentu saja diluar kebiasaan saya dan istri saya yang selalu merencanakan liburan kami jauh-jauh hari dan selalu detil dengan itinerary-nya. Yah... jadilah kami sibuk mencari penginapan dan tentu saja ini bukan hal yang mudah dimasa liburan lebaran seperti ini. Setelah berjuang cukup keras, untunglah kami masih bisa mendapatkan penginapan hotel bintang 3 di Semarang untuk 4 kamar.... Alhamdulillah.
Total jenderal, kontingen kali ini berjumlah 16 orang....  Ibu mertua, saya dan istri serta tiga keluarga kakak saya beserta anak-anaknya. Untuk efisiensi, diputuskan perjalanan ini memakai dua mobil saja. Satu mpv dan suv milik kakak pertama dan keempat kami (kaya film silat Mandarin aja ya..). Untunglah mobil pertama adalah mpv besar yang cukup lega, formasi captain seat Odissey generasi kedua ini membuat anak-anak bisa leluasa ada di dalam perjalanan. Mobil kedua, suv merek ternama  negeri matahari terbit,  masih bisa menggunakan jok belakang untuk anak sulung saya dan sedikit tas. Adventure begins...
Hari pertama lebaran tepat pukul 21.00 perjalanan dimulai dari Bandung. Menyusuri jalan Suci dan A.H Nasution kearah timur melalui Ujung Berung. Sedikit was-was melihat berita di  media yang memberitakan suasana Cileunyi yang konon katanya mengalami kemacetan parah. Bisa dipahami karena daerah ini merupakan pertemuan jalur ke arah timur, kearah Pantura Cirebon (Sumedang) serta kearah jalur selatan (Garut/Ciamis).  Alhamdulillah, ternyata kemacetan di Cileunyi terjadi dipintu keluar tol dan kearah selatan (Garut), dan kami bisa melalui jalut itu dengan mulus dan suprise-nya itu terjadi hingga Tanjung sari, Cadas Pangeran dan Sumedang yang biasanya pada masa-masa seperti ini sangat padat merayap adalah pemandangan biasa....
Lepas dari bundaran batas kota Sumedang sebelah timur, saya ambil alih kemudi dari kakak saya. Ini saatnya sopir antar kota antar provinsi lintas nusantara seperti saya beraksi, he...he... Sumedang-Cirebon pun cukup lancar dan bisa ditempuh dengan kecepatan optimal. Optimal disini bukan berarti kecepatan penuh karena kami penganut safe driving, apalagi perjalanan malam hari perlu taktik dan strategi jitu. Terlebih untuk perjalanan jauh seperti ini. Saya berupaya untuk berada di belakang mobil orang lain, karena jika kita harus berada di depan dan mencari jalan, itu sangat melelahkan untuk fisik maupun mata kita. So, kita harus pintar-pintar menempatkan mobil dibelakang mobil orang lain. Tentu saja harus cari mobil yang kecepatannya seimbang, jangan dibelakang mobil dengan kecepatan keong ya... bisa-bisa kita semingguan baru nyampe...
Menjelang tengah malam rombongan kami sudah sampai di Plumbon Cirebon, dan sebelum masuk tol Plumbon Pejagan yang lumayan membosankan itu, kami menyempatkan diri untuk istirahat dan sholat isya dulu di pom bensin sebelum pintu tol Plumbon. Tak perlu waktu lama, mobil kembali dipacu masuk tol. Beberapa kali tersendat dan masuk dalam antrian panjang dipintu pembayaran tol. Dini hari ini tol lumayan padat namun tetap lancar.
Keluar pejagan, arus kendaraan terpecah menjadi dua, yang kekiri kearah pantura dan yang kearah selatan atau arah Purwokerta.  Setelah mengarah ke utara, kita menemui pertigaan, ini jalan legendaris dan bersejarah karena ini jalan peninggalan era kolonial, grote post weg-nya Daendels. Jalan ini dari dulu sangat tidak nyaman, benar-benar menjadi anekdot untuk pembangunan yang paling abadi  tidak pernah selesai. Bergelombang, tambalan disana-sini, perbedaan permukaan jalan.... entah kapan jalan ini akan mulus. Kondisi ini akan kita temui di sepanjang Brebes, Tegal dan setidaknya sampai Kabupaten Pemalang.
Menjelang subuh, kami istirahat di SPBU Muri tak jauh  di sebelah timur batas Kota Tegal – Kabupaten Tegal. Baru tahu ternyata ini rest area yang benar-benar nyaman dan lengkap fasilitasnya:  Toilet banyak dan bersih, pegawai ramah, musholla, persewaan extra bed untuk 8 jam, kafetaria dan kolam renang! Sambil menunggu mesjid, kami akhirnya buka warung pribadi, dengan bermodalkan kompol gas portabel, mie dan minuman instan kami menikmati kemping di belakang parkiran mobil.....
Setelah sholat subuh, kami lanjutkan perjalanan ke arah timur. Kaca jendela buka sedikit, nikmati udara segar pagi. Meski jalanan tak begitu mulus karena banyak salonpas alias tambalan disana-sini, mobil masih bisa dipacu dengan extra hati-hati dan dibantu dengan indera keenam untuk mencari sisi jalan yang mulus. Kota Pemalang dilewati melalui lingkar luar yang (lagi-lagi) masih dalam perbaikan. Belum semua jalur teraspal mulus. Baru selepas Kota Pemalang, kita bisa menikmati jalan yang lumayan mulus. Pekalongan, Batang dan Kendal terlewati dengan mulus rahayu. Masuk Kota Semarang masih lumayan pagi sekitar jam 8 pagi. Berhubung belum waktunya check in, kami putuskan untuk mengekplorasi kota Semarang. Sasaran pertama adalah Soto Pak Man di Jalan Pamularsih Semarang... Ini soto khas semarang yang menurut kami sangat recommended. Damn!! Ternyata Pak Man hari itu masih tutup alias libur, walhasil kami putar arah dan menuju ke warung soto lainnya (saya lupa nama jalannya). Tak ada rotan akarpun jadi, tak ada pak man, pak no-pun jadi.  Lumayan mengobati kangen akan rasa otentik soto semarang, pulang nya dapat oleh-oleh jam dinding pula. Lumayan daripada lumanyun. He he...
Setelah sarapan, kami mampir ke land mark kota semarang yang ngetop setelah masuk dalam salah satu episode acara uji nyali dulu. Lawang Sewu. Bekas kantor pusat perusahaan kereta api Hindia Belanda ini terletak di sebelah timur laut Tugu Muda atau di ujung jalan Pemuda. Harga tiketnya 10.000 untuk dewasa dan 5000 untuk anak sekolah. Plus 30.000  untuk biaya guide yang akan mengantarkan kita keliling gedung.  Pengunjung siang itu lumayan ramai, kebanyakan rombongan keluarga yang sedang menikmati liburan. Cuaca semarang yang panas membuat kami tak berlama-lama disana, badan sudah menagih untuk recovery dan bed empuk plus ac dingin hotel warna ungu ini sudah memanggil....
Setelah istirahat sejenak, kecuali anak-anak yang lebih memilih berenang di tengah panas terik matahari, sorenya kami makan sore di sekitaran jalan Majapahit yang sebenarnya sangat mengecewakan, namun karena lapar rombongan makan dengan semangat 45 sampai tak tersisa menu iga bakar yang ada di rumah makan itu.  Acara malam itu ditutup dengan silaturahmi dengan keluarga  embah di daerah semarang timur untuk silaturahmi. Ini meeting point dengan rombongan dari Yogya.
Tak lupa mampir ke sentra oleh-oleh Pandanaran untuk mencari sedikit oleh-oleh dan tentu saja makanan kebanggaan semarang, lunpia! Konon katanya yang benar begini nulisnya. Lun artia digulung, pia artinya ya kulita pia. Jadi lunpia adalah makanan dari pia yang digulung, isinya adalah rajangan bambu muda atau rebung dicampur daging atau ada juga udang.  Saya lebih suka lunpia yang tidak di goreng alias lunpia basah, lebih fresh dan tanpa lemak. Jangan lupa daung bawang dan cabenya. Ini  makanan penutup kami malam itu.

Etape Kedua
Hari kedua, kami menuju Yogyakarta. Sekitar pukul sembilan pagi, kami sudah meninggalkan hotel dan meninggalkan kota Semarang. Dari Plampitan kami mengarah ke Simpang Lima untuk kemudian mengambil jalan ke arah timur, ke arah jalan Majapahit.  Kami akan menempuh perjalanan ke Yogya dengan menggunakan jalan tol Semarang-Ungaran-Bawen. Tol ini sebenarnya belum siap untuk dioperasikan tapi dipaksakan untuk dipergunakan pada musim lebaran kali ini. Di kanan kiri Tol selepas Ungaran masih banyak bukit-bukit yang baru saja dipapas, sangat mengerikan sebenarnya jika turun hujan deras karena bisa saja melumerkan tanah dan bahaya longsorpun mengancam. Meski demikian perjalanan lumayan lancar dan cukup menyingkat waktu perjalanan karena bisa menghindari kemacetan di Ungaran dan Ambarawa. Kecuali di daerah perbukitan antara Ambarawa – Secang yang sedikit tersendat.
Masuk kota Magelang, jebakan beberapa traffic light dan pertigaan membuat mobil kembali tersendat. Kembali melancar ketika kami mengambil arah ke kiri atau melalui by pass terminal dan masuk kembali ke pertigaan Armada Town Square untuk masuk ke jalan Yogya Magelang. Jalanan yang lebar dan kualitas super membuat laju mobil kembali kencang.
Rencana  untuk menikmati keindahan Borobudur menjadi berantakan karena padatnya parkir di sekitar komplek candi. Meski telah menggunakan jasa vorijder swasta alias tukang ojek untuk cari jalan tikus dan parkir, ternyata upaya tersebut gagal karena dicegat Polantas yang telah menjadikan jalan yang ditunjukkan oleh tukang ojek tersebut menjadi jalan satu arah.  Akhirnya kami putar balik dan memutuskan untuk mencoret candi legendaris peninggalan Wangsa Syailendra tersebut dari agenda kami hari itu.
Kembali ke jalan raya Magelang – Yogya. Jalan ini sungguh membuat iri karena susah sekali mendapatkan kenyamanan jalan seperti ini di Bandung. Jalan yang lebar, cenderung lurus dan tentu saja mulus. Mungkin karena pemerintahnya sangat sadar wisata sehingga jalur-jalur ke tempat wisata sangatlah diperhatikan. Tapi bukankah Bandung juga kota wisata dan banyak objek wisata ngetop juga? Bandingkan dengan jalan-jalan ke arah objek wisata di Pangalengan atau Ciwidey yang dari duklu segitu-gitunya saja, bahkan makin sempit dengan warga yang mendirikan warung-warung dipinggir jalan. Negeri Otopilot. Ahay... mudah-mudahan bukan karena uangnya habis buat modal kampanye, dan mudah-mudahan pendapat saya ini salah. Yang pasti, dijalan itu mobil bisa digeber setidaknya sampai 80 km/jam. Hambatannya hanya berupa beberapa lampu merah dan pertigaan setelah masuk Provinsi DIY dibeberapa tempat yang mengakibatkan sedikit antrean.
Sampai di Sleman acara makan siang yang terlambat di lakukan sebelum perempatan UPN Veteran yang sampai saat ini masih dilakukan pekerjaan pembuatan fly over. Sebuah rumah makan dengan menu utama ayam goreng kalasan khas mbok  berek. Dengan konsep lesehan dan pelayanan yang rumah, rumah makan ini sangat hummy, terlebih dengan kehadiran bapak-bapak tua pemain organ tunggal yang dengan ramah memanggil tamu untuk ikut bernyanyi. Yang penting hepi katanya....
Setelah perut terisi, perjalanan hari itu berakhir di sebuah hotel kecil di ring road utara. Hotel minimalis yang biasa menjadi langganan diklat itu menjadi tempat transit kami di Yogya hari itu. Cukup nyaman dengan kontur hotel yang ada di tebing sehingga membuat pemandangan tidak flat. Kolam renang kecil  yang ada di hotel tersebut cukup menjadi tempat relaksasi kami sore itu....

Etape Ketiga
Keesokan harinya, pagi-pagi kami menuju Prambanan. Jarak ke prambanan sebenarnya tidak terlalu jauh dari lokasi penginapan kami. Mungkin hanya sekitar 15 kilometer. Namun pagi itu jalanan mulai memadat, beberapa kali tersendat di beberapa lampu merah terutama di lampu merah menuju Bandara Adisutjipto dan AAU, selebihnya cenderung lancar. Sampai di Bogem langsung ambil jalur lambat untuk selanjutnya belok kiri ke kompleks Candi Prambanan.
Aha... ternyata tempat parkir sudah penuh dengan mobil sehingga kami memutuskan untuk parkir di lapangan rumput. Sebenarnya pengelolaan tempat wisata di Prambanan ini jika dibandingkan dengan Borobudur jauh lebih baik, tidak ada parkir liar di tempat parkir, begitupun dengan para pedagang souvenir yang semuanya terkoordir dengan rapi, tidak ada yang menawarkan dagangan sampai ke tempat parkir sebagaimana di tempat-tempat wisata lainnya di Indonesia. Untuk informasi, tiket masuk dewasa untuk menikmati keindahan candi prambanan adalah sebesar Rp 30.000 dan untuk anak-anak bisa menebus setengahnya. Tiket berupa kartu elektrik yang tinggal di tap di pintu masuk.
Agenda standar di Prambanan adalah foto bersama dengan latar belakang Candi utama. Meski kini sudah ada kamera digital yang lumayan simple, tetap saja terasa kurang kalau tidak berfoto dengan mat kodak yang kameranya sudah bukan merk Kodak lagi.  Setelah itu tinggal keliling candi dan karena saya bertugas di divisi perbekalan, saya memtuskan untuk cari jalan lintas menuju area tanah lapang di sebelah utara candi untuk mencari tempat lesehan sambil mempersiapkan makanan bersama istri.
Tak lama kami ada di Candi karena harus kembali lagi ke hotel untuk check out dan berpindah ke penginapan lain di tengah kota. Kami sengaja mencari penginapan lainnya agar perjalanan ini berkesan dan memberikan pengalaman yang berbeda. O ya... sebelum ke penginapan, kami menyempatkan diri mampir ke Musium Dirgantara Mandala Yogya. Benar-benar exited untuk anak-anak, terutama anak laki-laki  saya, Dimas,  yang sangat tergila-gila dengan dunia penerbangan atau aviasi. Museum ini terletak diujung jalan layang Janti sebelah selatan. Selepas turuanan fly over tersebut, silakan langsung belok kiri. Masuk ke dalam beberapa meter akan ketemu pos POM AU, kita harus turun, lapor dan jangan lupa bayar parkir ke petugas 10.000 per mobil. Sayangnya tidak ada karcis untuk tanda terimanya...

Di dalam museum kita bisa menemui sejarah dunia penerbangan yang 99% sebenarnya adalah mengupas tentang penerbangan militer. Seperti uniform penerbang dari masa-kemasa, pataka kesatuan, dokumentasi operasi –yang dilakukna oleh angkatan udara, memorabilia para panglima atau KSAU, dan yang paling menonjol tentu saja display pesawat dan alutsista yang pernah dimiliki oleh TNI AU. Jadi nama yang pas untuk museum ini menurut saya adalah Museum Juang TNI AU. Terlepas dari itu, tiket sebesar 3000 rupiah terasa sangat murah dibandingkan dengan pengetahuan yang kita dapatkan  disitu.  


Tujuan kami adalah satu penginapan berbentuk villa di sebelah selatan keraton Yogya yang kami dapatkan dari hasil surfing di internet. What a simple way by a technology! Ternyata villa tersebut berada ditegah-tengah perkampungan dengan jalan yang sempit dan pas-pasan untuk kendaraan, terlebih untuk si odissey yang lebar dan panjang, sehingga kami memutuskan untuk parkir di depan bale resto jango yang berjarak sekitar 100 meter dari villa.

Villa Bougenville ini ternyata melebihi ekspektasi kami yang sempet ngedrop dan ilfill dengan akses masuknya. Sangat cantik, dengan perpaduan  arsitekrut antara modern dan klasik. Berada di tengah-tengah pemukiman wisata yang sangat tenang, sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan kawasan Poppies di Kuta, meski sama-sama dengan mudah kita akan menjumpai turis bule berkeliaran. Pintu gerbangnya berupa dua pintu jati klasi, dengan jalan setapak yang beralaskan bebatuan putih. Di kanan-kirinya taman bunga yang meski minimalis sangat sari dan teduh. Di depan villa terdapat satu kolam renang mungil sedalam kurang lebih 1,3 meter, cukup nyaman dan aman untuk anak-anak yang sudah mulai pandai berenang.  Teras villa dilengkapi dengan dua kursi malas untuk berjemur dan satu sofa rotan dengan atap setengah lingkaran oval yang bisa dibuka tutup.

Tiga kamar tidur yang ada cukup lega dan bersih, begitupun dengan kamar mandinya yang sangat nyaman. Dapur sangat lengkap perabotanya sehingga kita bisa membuat acara makan keluarga bak di rumah sendiri. Meja makan berada di sisi barat bangunan dengan meja panjang yang bisa menampung sepuluh orang. Yogya yang terkenal panas, ternyata sangat sejuk di villa tersebut, sehingga mesin pendingin ruanganpun sebenarnya kurang diperlukan. Desain sempurna villa yang konon milik ekspatriat Belgia ini  mungkin yang membuat sirkulasi udara begitu lancar mengalirkan udara sejuk dari sela-sela pohon dan bebungaan di sekitar bangunan villa.

Malam itu kami makan malam dengan gudeg yogya yang kami beli dari dua penjual gudeg yang ada di kawasan kuliner gudeg wijilan di sebelah timur alun-laun selatan. Nasinya kami masak sendiri.  Meski sederhana, makan malam kali ini begitu sempurna. Subhanallah dan Alhamdulillah. Dua kata yang melengkapi makan malam kami untuk kenikmatan yang bisa kami dapatkan malam itu..

Rasanya menyesal berada di tempat itu hanya untuk satu malam. Testimony serupa saya dapatkan dari catatan yang ada di guest book dari berbagai tamu yang berasal dari seluruh penjuru dunia yang rata-rata menyampaikan kepuasannya menginap di villa tersebut. Tempat, vasilitas dan hospitality dari petugas villa sangat bagus. Definetely wanna be there again...

Etape Terakhir

Pagi itu saya dan istri mencari bahan-bahan makanan untuk sarapan di pasar tradisional di kawasan jalan parang tritis, nama pasarnya saya lupa. Pasarnya tidak terlalu besar, tapi sangat lengkap dan bersih! Satu lagi pelajaran yang didapat bahwa pasar tradisional tidak selalu identik dengan tempat yang kumuh, kotor, becek, tidak ada ojek..... Kapan ya di Bandung pasarnya bisa seperti itu? Cicadas, Kosambi, Cihaurgeulis dan andir yang sering saya jelajahi jelas tidak begitu kondisinya. Sangat jorok dan semrawut.  Ada pasar bersih di kawasan Batununggal, tapi itu labelnya adalah pasar modern. Saya tidak terlalu percaya kalau kemajemukan dijadikan alasan untuk sulitnya “mengatur”.  Itu alasan untuk pemerintahan yang malas dan penakut. Apakah harus melakukan ethnicleansing? Itu yang saya tulis di status efbi saya...

Selain kebersihannya, di pasar tersebut adalah tempat yang tepat untuk bernostalgia dengan berbagai macam makanan tradisional. Ada penjual urap (saya kurang tahu nama generik Yogyanya), gethuk dan berbagai macam jajanan pasar tradisional yang barang tentu sangat jarang atau tidak akan kita temui di Bandung atau kota besar lainnya. Karena kondisi pasar yang bersih, untuk kali ini rasanya sangat nyaman menyantap makanan buatan simbah-simbah yang jualan di pasar.. Higienis. Dan itu terbukti kami tidak ada satupun yang sakit perut selepas makan makanan pasar tersebut.

Semua ada masanya. Begitupun liburan kami kali ini. Dengan berat hati, kami check out tepat pukul dan melakukan perjalanan pulang yang panjang. Sempat bimbang menentukan rute pulang, apakah lewat jalur selatan yang sempit dan berkelok dengan resiko macet total di beberapa titik, ataukah lewat jalur utara yang lebih panjang namun lebih lebar jalannya serta predictable untuk kemacetannya. Akhirnya kata hati menentukan bahwa kita akan menempuh perjalanan ke utara. Perjalanan akan melewati Magelang kemudian di daerah Secang akan belok kiri ke arah Temanggung. Dari kota tembakau itu kemudian mengarah ke kanan menuju Parakan, Ngadirejo, Sukorejo dan akhirnya Weleri di jalur pantura.

Kondisi jalan di jalur lternatif yang juga dipergunakan sebagai jalur bisa malam dari arah barat ke bagian selatan pulau Jawa ini tidak terlalu lebar. Cenderung sempit dan berkelak-kelok. Di beberapa tempat kita harus melewati hutan dan kawasan pedesaan yang mendominasi pemandangan. Tempat makan dan SPBU sangat jarang sehingga disarankan untuk mempersiapkan persediaaan makanan maupun bahan bakar mobil sebelum meninggalkan Magelang. Dari Yogya sampai Weleri akan diitempuh dalam waktu kurang lebih lima jam dengan satu kali istirahat sholat. Namun pemandangan gunung Sindoro Sumbing dan perkebunan tembakau dikanan kirinya di sepanjang perjalanan dipastikan menjadi bonus yang bisa memangkas kepenatan sepanjang perjalanan.

Menjelang petang kami sitirahat di daerah gringsing sekaligus untuk makan malam dan sholat magrib. Jalanan mulai padat mesipun tampat lancar.  Dan benar saja, kami masih bisa memacu kendaraan dengan kecepatan cukup di sepanjang alas roban hingga mulai memadat kala memasuki kota batang dan Pekalongan. Banyaknya persimpangan dan sempitnya jalan ditengarai sebagai penyebab. Sepertinya sudah saatnya pemerintah daerah memikirkan jalan lingkar di kota Batang dan pekalongan, atau mudah-mudahan jalan tol trans Jawa nantinya bisa menjadi solusi kemacetan akut di Batang dan Pekalongan.

Selepas Pekalongan, perjalanan relatif lancar meski kondisi lalu lintas sangat padat. Kepadatan yang sempat mengakibatkan kemacetan di pintu tol pejagan, sehingga entry tol diarahkan ke pintu tol Kanci di Cirebon. Alhamdulillah, perjalanan semakin lancar dini hari itu,apalagi setelah keluar tol Plumbon dan arus yang sebagian besar ternyata mengarah ke Jakarta, membuat perjalanan Cirebon-Bandung sangatlah lancar. Hambatannya hanyalah beberapa bus besar, truk yang mulai beroperasi dan yang paling berat adalah melawan rasa kantuk. Tepat waktu adzan Subuh kami masuk ke rumah. Total jenderal 17 jam sudah kami melakukan perjalanan darat. Mata dan tubuh ini sudah tidak bisa diajak kompromi lagi.

Tempat tidur sudah menunggu. Jikapun boleh memesan mimpi, saya berharap liburan kami bisa diperpanjang dan kalau bisa tanpa akhir....  


Villa Bougenville dan berakhir di Villa Mertua 14073013

Monday, August 5, 2013

AGEN



Saya dan istri saya pernah terkagum-kagum dengan kesuksesan yang diraih oleh istri atasan istri saya, sebut saja namanya Bu M. Sukses yang terlihat dimata kami adalah gemerlap kekayaan dan materi yang dimiliki oleh Bu M, dan kami sepakat mengambil kesimpulan bahwa kekayaan itu (tanpa mengurangi rasa hormat kepada suaminya) adalah sebagian besar memang hasil dari usaha Bu M. Mobil keluaran terbaru yang cukup mewah untuk ukuran pe-en-es, jumlahnya pun lebih dari satu. Rumah dan berbagai tampilan materi lainnya. Berawal dari tawaran yang gencar untuk membeli produk asuransi investasi, akhirnya kami tahu bahwa itu adalah satu pekerjaan yang disebut sebagai agen asuransi. Secara garis besar, sebenarnya itu adalah pekerjaan menjual produk asuransi. Dan dari setiap produk yang sukses dibeli oleh klien (mereka biasanya menyebutnya sebagai prospek) tentu saja mereka akan mendapat fee atau prosentase tertentu dari perusahaan, dan tentu saja bonus yang luar biasa dari perusahaan asuransi mereka jika mampu melewati target yang sudah ditentukan.
Singkat kata istri tertarik untuk mengikuti jejak istri bos tersebut menjadi agen asuransi, tentu saja atas referensi Bu M dan sudah barang tentu  menjadi downline-nya. Setelah mengikuti training singkat, istri saya akhirnya resmi mempunyai status dan peran sebagai seorang agen asuransi.  Target tidak jauh-jauh, tetangga satu komplek yang kelihatan mapan. No pain no gain. Perlu usaha keras untuk bisa closing dengan sukses sekedar satu prospek saja. Menelepon setiap ada kesempatan sekedar minta jadual presentasi, konfirmasi dan dengan semangat 45 mengirimkan emosi menjual yang ternyata kalau difikir-fikir sangat melelahkan, tidak membuat nyaman bagi kita (apalagi untuk prospek), dan yang paling tidak enak adalah munculnya perasaan berdosa karena dari inventasi (asuransi) yang ditanamkan, sebagian ternyata mengalir kepada rekening kita sebagai bagain dari fee atau bonus marketing kita. Meskipun itu legal, perasaan telah mendzalimi kok selalu muncul.... dan ahirnya istri saya melepaskan mimpi menjadi kaya karena gagal mengikuti jejak Bu M.

Sayapun pernah memutuskan untuk mencari peluang usaha dengan mendalami cara kerja agen properti. Tentu saja dari berselancar di internet.  Berawal dari pengalaman menjual rumah dan menggunakan jasa agen properti, ternyata hitung punya hitung, fee yang mereka dapatkan sangat menggiurkan. Dua sampai tiga persen dari nilai transaksi bukan jumlah yang kecil jika melihat harga jual rumah di perkotaan saat ini. Saya sampai tertawa melihat satu rumah yang akan dijual di daerah Setiabudi Bandung dan dipagarnya terpasang banyak spanduk dengan tulisan dijual, nama kantor properti, nama sang agen dan tentu saja nomor telefon mereka. Mirip pagar kantor dewan kala diserbu demonstran atau pagar tribun stadion kala pertandingan Liga Indonesia. Sudah barang tentu ini prospek kelas kakap, jika bisa sukses atau closing, tentu saja bisa dihitung sendiri uang yang akan didapatkan oleh oleh sang agen dari  nilai rumah yang menurut taksiran saya pasti bernilai miliaran. Tiga persennya.... hitung saja sendiri ya...

Tapi respek dan keinginan saya runtuh begitu pengalaman saya ketika menginginkan rumah saya terjual dengan cepat, dan agen yang telah saya tunjuk secara eksklusif ternyata tidak melakukan apa-apa, iklan di media cetak dan internet tidak ada, papan atau spanduk juga tak muncul. Sementara jika rumah ini laku, sang agen tetap akan  mendapatkan  fee sebagaimana tertuang dalam perjanjian. Eksklusif katanya. Dan rasanya kok enak banget, kita yang cape-cape pasang iklan, negosiasi dengan calon pembeli, kok dia hanya bermodalkan selembar kertas perjanjian dan ongkang-ongkang kaki bisa mendapatkan uang jutaan rupiah..   
Respek saya juga berubah menjadi minus ketika ternyata mereka tidak sekedar berupaya mendapatkan dari fee penjualan. Tetapi juga memanfaatkan pembeli yang membutuhkan jasa leasing atau kredit bank dengan menjadi perantara antara calon pembeli (sekaligus calon debitur) dengan pihak bank (lebih tepatnya assesor). Di sini sang agen akan meminta dan mendapatkan fee lagi. Tak puas sampai disitu, agen akan mengintimidasi penjual bahwa dia lah yang bisa menentukan transaksi ini bisa sukses atau tidak, untuk itu dia akan minta jasa atau fee lagi kepada penjual. Lagi-lagi, perilaku agent yang ditunjukkan lebih banyak mengirimkan emosi penjualan yang sangat intimidatif dan memanfaatkan kelemahan kita untuk mengikuti aturan main dan keinginannya. Kita dibuat tidak berdaya. Damn!!

Dari situ saya merasa bahwa menjadi agen baik properti dan asuransi harus dicoret dari target pribadi saya. Meski saya tahu bahwa jalan mendapatkan keuntungan dan kejayaan cukup besar dari situ. Terlalu mahal rasanya mengorbankan rasa nyaman dan menukarnya dengan perasaan berdosa kepada prospek yang belum tentu ikhlas melepaskan uangnya untuk produk jasa yang kita tawarkan. Kesimpulan saya, menjadi sales itu memang harus gigih, dan kejam atau tega-an... yang penting target tercapai, produk kita terjual. Di point ini saya merasa tidak memiliki cukup ability.

Sampai pada akhirnya saya menemukan bahwa ternyata menjadi agen atau sales seharusnya tidak seperti itu. Hal itu saya dapatkan dari buku kecil bersampul merah menyala dengan gambar kecap dan bertajuk Ketjap Nomor Doea. Intinya, agen-agen yang selama ini banyak berhubungan dan menghubungi saya ternyata berada dalam jalan yang sesat karena belajar teknik menjual dari jalan hitam: mengintimidasi prospek sampai bertekuk lutut. Menghubungi tanpa kenal lelah lewat telefon pada jam kerja dan jam istirahat, maksa minta waktu presentasi, kirim sms dan broadcast tanpa kenal waktu.  Padahal dari buku ini saya mendapatkan, bahwa seharusnya seorang agen haruslah berangkat dari keihklasan keinginan membantu, membantu kebutuhan dan permasalahan klien atau prospek itu yang terpenting. Soal mau beli atau tidak itu urusan nanti. Ilmu ikhlas intinya, (dan saya memutuskan untuk membaca buku Quantum Iklas karya Erbe Sentanu).

Di dunia yang pernah saya tekuni di pelayanan publik, sempat muncul pameo kalau bisa dipersulit kenapa harus dipemudah, alau bisa diperlama kenapa harus dipercepat. Ini soal budaya atau kultur. Yang terlanjur melekat dan diwariskan dari penjajahan Belanda dulu. Belanda dulu menjadikan para pejabat kerajaan lokal sebagai birokrat, tentu saja bisa ditebak hasilnya, budaya feodalisme (konsep feodalisme di kita sebenarnya berbeda dengan feodalisme Eropa) yang kental dengan dilayani dan dihormati ketimbang melayani.... Jarang sekali bukan kita mendapatkan sapaan sederhana ini di kantor pemerintah : Apa yang bisa saya bantu?  Tapi tentu saja itu sudah berlalu, saya berharap bahwa itu sudah berubah di republik tercinta ini.

Nun disebuah negeri yang jauh, jangankan untuk melayani masyarakat, kepada sesama abdi negara saja pameo yang muncul adalah “homo homini lupus”. Sekelompok srigala dengan kekuasannya yang luar biasa, taring-taringnya akan menggiring sekawanan domba tanpa kuasa hingga tersudut. Ketika mangsanya lemah, serigala cokelat tersebut berlaku bak Tuhan dengan kuasa untuk mengirim mangsanya ke neraka atau melepaskannya kembali ke dunia. Tentu saja tidak ada makan siang yang gratis, setelah dihantam dan dilemahkan, serigala akan memunculkan topeng dewi Kwan Im-nya dengan imbalan tumpukan tebal rupiah atas jasa “kebaikan” dan “bantuannya dalam menyelesaikan masalah” tersebut. Tak ada keikhlasan dinegeri bedebah tersebut, yang ada adalah praktek transaksional. Sama seperti agen-agen yang ada di negeri nyata yang pernah saya temui..  

Untungnya saya hidup di negera Republik Indonesia tercinta, bukan di negeri penuh agen serigala cokelat bedebah. Alhamdulillah....

Ini hanya Ketjap Nomor Tiga........
Salam.

Bandung,  05082013.

Saturday, July 27, 2013

MENGAPA HARUS MUDIK?


Setiap tahun di ujung bulan ramadhan kita senantiasa disuguhkan dengan sebuah drama menarik : mudik lebaran. Sebuah episode yang senantiasa menyuguhkan tema-tema lama mulai dari antri tiket, keriuhan dan kericuhan di stasiun, terminal, pelabuhan, bahkan tempat elit seperti bandara, kemacetan parah di sepanjang jalur mudik, ketidaknyamanan sarana dan prasarana transportasi, serta tak luput dari berita kecelakaan maut. Cerita mudik bahkan berkembang dengan munculnya fenomena pemudik jarak jauh yang menggunakan sepeda motor.
Istilah mudik secara spesifik merujuk pada sebuah tindakan yang bersifat massal yang diwujudkan dalam perpindahan fisik manusia dari satu tempat ke tempat lain dalam sebuah momen yang bersamaan. Momen mudik kini tidak hanya dilakukan pada libur hari-hari besar agama, tetapi juga dilakukan pada momen tahun baru atau peringatan hari kemerdekaan nasional. Namun demikian, sebagai negara dengan pemeluk  agama Islam terbanyak di dunia, dapat dipahami jika mudik di Indonesia lebih bergemuruh dan memberikan suguhan drama yang sensasional pada momen peringatan hari raya idul fitri atau lebaran.
Fenomena mudik sesungguhnya tidaklah endemik yang otentik negeri ini, karena di beberapa masyarakat dunia pun sebenarnya mengenal tradisi mudik sebagaimana dilakukan oleh sebagian besar masyarakat di belahan dunia barat yang ingin merayakan kehangatan natal bersama keluarga, atau masyarakat China yang senantiasa menjadikan momen peringatan imlek sebagai ajang reuni keluarga. Di beberapa negara Islam, seperti Bangladesh, Mesir atau Pakistan konon fenomena mudik juga dapat dijumpai. Yang sangat original dan typical dari fenomena mudik ala indoneisa ini sesungguhnya adalah kesemrawutan, permasalahan dan manajemen penanganan mudik yang sangat repetitif, berulang dan berulang.
Dengan kondisi yang penuh carut marut dan resiko tersebut, jumlah pemudik tak pernah surut jumlahnya meski ditengah suasana ekonomi yang sulit sekalipun. Jumlah pemudik dari Jakarta dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan. Pada tahun 2006 jumlah pemudik yang menggunakan angkutan umum baik darat, laut dan udara tercatat sebanyak 2.050.687 orang, kemudian pada tahun 2007 naik menjadi 2.184.502 dan musim lebaran tahun 2008 ini, Pemerintah DKI Jakarta memprediksikan bahwa pemudik tahun ini akan bertambah menjadi 2.485.165 atau terjadi kenaikan kurang lebih 9% dari tahun sebelumnya. Angka tersebut belum termasuk pemudik dari kota-kota besar lain seperti Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Semarang, Medan, Makasar dan kota-kota lainnya di Indonesia. Jumlah tersebut juga belum mencakup pemudik yang menggunakan sepeda motor. Moda transportasi sepeda motor yang sebenarnya menjadi moda paling beresiko semakin menjadi alternatif ditengah semakin mahalnya biaya tranportasi yang harus dibayar sebagai akibat dari kenaikan harga bahan bakar dan suku cadang serta biaya operasional yang harus ditanggung oleh perusahaan transportasi.
Mengapa harus mudik? Mengapa harus rela mempertaruhkan resiko dan  ketidaknyamaan disepanjang perjalanan? Tulisan ini tidak bermaksud mempertanyakan tujuan (objectives) dari mudik karena nilai dan norma sebagian besar masyarakat kita tetap memandang ”sungkeman” dan bersilaturahmi dengan orang tua, kerabat dan sanak saudara tetapkan menjadi nilai utama dalam kebudayaan kita,  tetapi lebih kepada analisis mengapa orang bersedia menukar semua ketidaknyamanan tersebut dengan romantisme lebaran di tanah kelahiran.

Rasionalitas Mudik
Bagi masyarakat yang mengagung-agungkan rasionalitas, segala resiko, ketidaknyamanan dan carut marutnya kegiatan mudik lebaran tersebut tentu sebuah irasionalitas yang harus dibayar sangat mahal oleh pemudik. Pemudik dalam strata sosial ekonomi menengah ke bawah, tentu saja menjadi subjek paling menderita karena mereka hanya mampu membayar tiket kelas ekonomi untuk mendapatkan fasilitas yang terkadang sangat tidak manusiawi, rawan berbagai modus kejahatan, dan penuh kompetisi untuk mendapatkannya. Ilustrasi khasnya dapat berupa pemudik yang berebut tempat duduk hingga harus menjadikan jendela sebagai pintu masuk, gerbong kereta yang melebihi kapasitas, toilet atau gerbang kereta barang yang disulap menjadi tempat duduk, dek kapal yang mirip kaleng sarden, motor yang melebihi kapasitas serta aksi perampasan, penipuan dan pembiusan oleh penjahat yang menyamar sebagai pemudik.
Mereka yang lebih berada, tentu saja akan mendapatkan fasilitas yang lebih nyaman karena mereka dapat mempergunakan berbagai moda transportasi, mulai dari kenyamanan mobil (pribadi atau sewaan),  bis antar kota, kereta api atau kapal kelas eksekutif,  atau pesawat udara dengan segudang fasilitas yang mampu menyingkat waktu perjalanan, maupun dengan memanfaatkan menjamurnya jasa travel yang bisa mengantarkan pemudik hingga  depan rumah tujuan. Semua kenyamanan dan kemewahan tersebut tentu saja harus dibayar dengan harga yang mahal dan berlipat-lipat dari harga di hari-hari biasanya (regular season). Harga mahal yang mereka bayarkan tidak serta merta bebas dari masalah, karena apabila tidak beruntung mereka harus tetap iklas menerima ”bonus perjalanan” berupa kemacetan di sepanjang jalur mudik atau  delayed jadual keberangkatan yang mengesalkan.
Konklusi yang diambil bagi mereka yang belum pernah melakukan perjalanan mudik dapat ditebak : mudik adalah sebuah laku (tindakan) irasional! Berbicara tentang rasionalitas, Max Weber yang hidup dalam spirit aufklarung masyarakat Jerman, lebih dari satu abad lampau telah mencoba menganalisis perilaku sosial secara interpretatif dengan penjelasan secara kausalitas atas sebab dan akibatnya (Kinloch, 2005).  Menjadi rasional (being rational) dalam kaca mata Weber bukanlah masalah tujuan (objective) tetapi lebih kepada cara atau proses mencapai tujuan itu sendiri. Dan tindakan untuk mencapai tujuan tersebut merupakan sebuah tindakan sukarela dari para actor (pelaku) yang sarat makna interpretatif sehingga seringkali disebut sebagai voluntary meaningful social action. Setiap individu mempunyai tujuan-tujuan yang sangat bersifat pribadi, dan untuk mencapai tujuan tersebut akan ditentukan cara yang paling rasional menurut individu itu sendiri. Individu yang rasional menurut Weber adalah individu yang mampu mencapai tujuan yang diinginkan  dengan biaya (cost) paling murah, efektif, efisien tanpa melanggar rambu-rambu budaya (nilai dan norma yang berlaku) dan memperhatikan situasi dan kondisi pada saat itu.
Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa, cara orang melakukan ritus mudik, yang pertama, sangat dipengaruhi dan didorong oleh cultural values/norms yang hingga saat ini masih kuat tertanam dalam mind set sebagian besar masyarakat indonesia, bahwa mudik harus diimplementasikan dalam sebuah perjumpaan secara fisik dan lahir sebagai manifestasi dari kesungguhan dan ketulusan prosesi maaf memaafkan dan respek kepada orang-orang yang dihormati (orang tua terutama). Kehadiran teknologi informasi terutama telefon selular dirasakan masih belum bisa mensubstitusi kehadiran fisik dan mengurangi kesakralan maupun romantisme acara sungkeman yang terkadang sentimentil. Magis pembicaraan melalui telefon apalagi kartu pos atau SMS jelas kalah kelas dibandingkan dengan kehadiran fisik secara langsung dalam menghadirkan drama saling memaafkan yang penuh isak tangis haru pasca sholat ied. 
Romantisme lebaran juga mendapatkan dorongan dari nilai-nilai  untuk menghormati dan menghargai simbol-simbol budaya dalam lebaran, seperti yang ditunjukkan dalam budaya ziarah kubur ke makam lelulur (nyadran) atau prosesi menyantap hidangan (kulineri) khas lebaran bersama-sama, hingga saat ini jelas belum bisa sepenuhnya digantikan dengan kehadiran teknologi informasi tercanggih sekalipun. Intinya, nilai-nilai budaya menyatakan bahwa mudik adalah ”it’s a must” atau sebuah keharusan. Dan nilai budaya ini masih berlaku di semua kalangan masyarakat, baik mereka yang ada di kelas sosial ekonomi, baik di level bawah, menengah maupun atas.
Kedua, cara yang dilakukan orang untuk mencapai tujuan (mudik) sangat dipengaruhi oleh situasi – kondisi (conditional – situational) yang ada. Inilah yang membedakan bagaimana orang melakukan perjalanan mudik. Tidak ada seorangpun yang menginginkan berada dalam gerbong kereta yang over loaded, pengap, tanpa sanitasi yang memadai, mudik dengan sepeda motor penuh resiko, terperangkap kemacetan parah, menyumpahi pelayanan birokrasi bandara atau agen perjalanan dan segala macam tetek bengek keamburadulan manajemen transportasi lainnya. Namun situasi dan kondisi (terutama ekonomi) memaksa pemudik untuk melakukan dan menjalani ritual mudik, tentunya sesuai dengan kapasitas dan modal yang dimilikinya, sambil berharap bahwa di tahun yang akan datang kondisinya akan berubah menjadi lebih baik sehingga mampu memiliki dan memilih alternatif perjalanan mudik yang lebih baik. Perpaduan antara nilai-norma budaya dan situasi kondisi yang ada  inilah yang menghasilkan cara melakukan mudik yang berbeda-beda dari setiap individu.

Rasionalitas Pemegang Otoritas
Dari penjelasan tersebut terlihat bahwa kita tidak bisa mengatakan bahwa mudik adalah sebuah laku yang rasional atau tidak rasional, karena sangat bersifat individual terutama dalam motivasi setiap pemudik yang bermacam-macam, mulai dari yang bersifat tradisi (traditional rationality) atau rasionalitas yang didasarkan pada kebiasaan-kebiasaan masyarakat umum yang senantiasa menterjemahkan lebaran ekuivalen dengan mudik dan lebaran akan kehilangan maknanya jika tidak dilengkapi dengan ritual perjalanan mudik. Bagi pemudik yang menjunjung tinggi ajaran agama, akan memandang bahwa mudik adalah kegiatan asketis yang harus hadir secara langsung karena mempunyai nilai ibadah yang lebih tinggi sehingga mereka dapat dikategorikan ke dalam individu dengan rasionalitas yang didasarkan pada orientasi nilai tertentu (value oriented rationality). Sedangkan bagi mereka yang berfikir bahwa mudik adalah atas nama penghargaan terhadap hubungan yang emosional dengan orang-orang terdekat di kampung halaman dapat dikategorikan sebagai rasionalitas yang berorientasi para pengaruh atau perilaku emosional (affective rationality). Kategori rasionalitas terakhir adalah purpose rationality, sebuah tindakan rasionalitas yang dilakukan dengan menganalisis hal-hal yang telah terjadi dibelakang hari dan memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dalam pencapaian tujuan.
Para pemudik saat ini diharapkan semakin hari semakin cerdas dengan membuat perhitungan-perhitungan untuk melakukan perjalanan mudik yang sebisa mungkin murah, efektif dan efisien. Belajar dari pengalaman-pengalaman mudik yang pernah dijalani, para pemudik semakin pintar memanfaatkan teknologi untuk membuat strategi perjalanan yang nyaman, jadual yang rapih dan alternatif tindakan lain yang diperlukan. Termasuk kemungkinan untuk menunda mudik atau tidak melakukan perjalanan dalam masa utama (peak season)
Dan untuk masyarakat pemudik,  jika lebaran tahun ini kita masih menemukan mudik yang penuh carut marut, pelayanan yang begitu-begitu saja, aspal yang masih bolong-bolong, baku sikut dengan pemudik lain atau bahkan anda batal mudik karena sibuk mencari gas elpiji, mohon sisakan sedikit maaf dari lubuk hati yang paling dalam untuk para pemegang otoritas negeri ini, karena terbukti bahwa sebagai organisasi modern, birokrasi seharusnya bisa belajar dari masa lalu dan bukan keledai yang terantuk di lubang yang sama...
Siapa sebenarnya yang tidak rasional?