Saturday, June 29, 2013

Politik Fotogenik



Akhir-akhir ini atmosfir Kota Bandung terasa menghangat, bukan hanya karena musim kemarau mulai datang atau efek dari pemanasan global (global warming), tetapi karena aktivitas pemanasan (warming up) dari pihak-pihak yang akan maju dalam arena pertandingan Pemilihan Umum Walikota dan Wakil Walikota  Bandung tanggal 11 Agustus 2008. Salah satu bentuk pemanasan dari mereka yang akan maju dalam Pilwalkot tersebut adalah mulai bertebarannya poster-poster bergambar diri sang (bakal) calon kontestan, tentu saja terpasang di lokasi-lokasi strategis hingga sudut-sudut kota.
Ini adalah rumus umum dalam aktivitas demokrasi di Indonesia menjelang hajatan politik bukan hanya dalam proses pemilihan presiden, anggota legislatif (Pusat maupun daerah), pemilihan kepala daerah, hingga pemilihan kepala desa bahkan pemilihan Ketua RT! Format yang digunakan dapat dikatakan seragam, hanya kemasan dan kualitas gambar yang membedakan, semakin tinggi derajat hajatan tersebut, tentu saja semakin bagus dan berkualitas gambar yang dibuat.
Jika ditingkat RT atau kepala desa, cukup menggunting atau meng-cropping foto yang sudah ada dan kemudian digandakan dengan teknik fotokopi, di level yang lebih tinggi foto yang dipergunakan tentu saja merupakan hasil jepretan fotografer profesional dan diedit oleh ahli komputer grafis yang hade pula. Perkembangan teknologi saat ini, terutama teknologi cetak digital  benar-benar dimanfaatkan oleh para kontestan secara optimal.
Ditangan para profesional ini, para kontestan berharap dapat menampilkan potret diri yang secara fisik dapat terlihat good looking dan angle yang bagus yang dapat merepresentasikan citra dan kepribadian positif. Oleh karena itu, jangan berharap akan terpasang poster kontestan yang  sedang baeut, manyun apalagi sedang marah-marah, karena masyarakat akan langsung memberikan stigma negatif terhadap kesan yang ditampilkan tersebut.
Yang paling jamak ditemui adalah wajah-wajah sumringah, dengan senyum yang semanis mungkin dan semirip mungkin dengan iklan pasta gigi.... Di dunia fotografi kita kenal istilah fotogenik, atau orang yang mempunyai daya tarik tersendiri di depan kamera karena pose-pose yang ditampilkan senantiasa memikat dan tampak cantik atau tampan. Maka berlomba-lombalah menjadi orang paling fotogenik diseantero kota....

Ironi Negara Demokrasi
Fenomena pamer foto ini mungkin bukan fenomena khas yang hanya ada di Indonesia tetapi juga jamak ditemui di negara-negara demokrasi lainnya di dunia. Tetapi dengan proses pemilihan colok foto, para kontestan merasa perlu untuk mempengaruhi memori para pemilih dengan tebaran foto-foto sedini mungkin, jauh-jauh hari, bahkan ketika Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum mencetak formulir pendaftaran calon.
Dalam format pemilihan kepala daerah saat ini, salah satu pihak yang paling memungkinkan untuk ”promosi” lebih awal, tentu saja para incumbent. Dengan dukungan sumber daya dan otoritas  yang dimiliki, para incumbent dengan sangat leluasa menyelipkan foto diri mereka dalam setiap poster pembangunan, iklan layanan masyarakat, poster kegiatan sosial, olah raga maupun keagamaan, kartu lebaran sampai kalender instansi pemerintah.
Di satu sisi, dengan intensitas tatap muka maupun kemunculan di media massa yang jauh lebih sering dibandingkan dengan calon lainnya, tebaran foto diri tersebut tentu saja merupakan sebuah ironi ketidakpercayaan akan sebuah popularitas yang seharusnya terbangun dalam rentang masa jabatan yang dimiliki sebelumnya. Kebutuhan untuk mensosialisasikan gambar diri, juga menunjukkan sebuah ketidakpercayaan pada angka statistik yang memperlihatkan semakin kecilnya prosentase orang yang buta huruf.
Dengan predikat sebagai negara demokrasi ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan India, budaya demokrasi kita ternyata baru berada dalam fase pencitraan secara fisik. Mengacu pada proses pemilihan presiden Amerika saat ini, citra Barrack Obama tidak muncul dari sisi fisik (yang justru menjadi titik lemah dimata kompetitornya), tetapi citra yang dimunculkan adalah kemampuan diri Obama untuk membuat perubahan bagi masyarakat Amerika Serikat yang dirasakan banyak mengalami  kemandegan dibawah kepemimpinan George W. Bush. Tag line kampanye Obama ”Yes We Can” jauh lebih dominan mewarnai setiap kampanyenya ketimbang foto diri Obama. Ini bukan masalah handsome atau tidak handsome, tetapi karena mayoritas masyarakat pemilih Amerika sudah lebih mengedepankan rasionalitas daripada ikatan emosial maupun primordialitas semata.
Predikat negara demokrasi ketiga di dunia sepertinya hanya melihat demokrasi di Indonesia dengan indikator partisipasi (diukur dari persentase partisipasi dalam pemilu)  dan kompetisi (persentase partai terbesar dalam pemilu) sebagaimana dikemukakan oleh Tatu Vanhanen (Iwan Gardono Sujatmiko, 2002). Diakui atau tidak, proses menuju pendewasaan politik pemilih kita saat ini, masih menemui jalan terjal karena elit-elit politik yang seharusnya bisa menjadi patron bagi para pemilih, ternyata lebih menyukai cara-cara instan dalam proses berpolitik. Politik pencitraan jauh lebih memikat untuk dinikmati karena lebih menawarkan aroma selebritas, ketimbang memberikan pencerahan kepada rakyat, tentang apa yang seharusnya menjadi hak dan kewajiban politik masyarakat sebagai warga negara dalam setiap kampanyenya.
Akhirnya, sudut-sudat jalan strategis maupun baliho-baliho iklan yang seharusnya menjadi sumber potensial bagi pendapat asli daerah (PAD) menjadi media yang sangat potensial bagi kampanye para calon kepala daerah (dalam posisi incumbent) yang justru rawan menyedot anggaran keuangan daerah. Luna Maya yang menjadi duta iklan bagi beberapa produk-pun mendapatkan pesaing tangguh. Sungguh ironi negeri demokrasi yang masih dipenuhi politik fotogenik. Satu, dua, tiga,... cheezz!

 Tulisan 5 tahun yang lalu Kompas, Forum, Jumat – 11 Juli 2008

No comments:

Post a Comment