Setiap tahun di
ujung bulan ramadhan kita senantiasa disuguhkan dengan sebuah drama menarik :
mudik lebaran. Sebuah episode yang senantiasa menyuguhkan tema-tema lama mulai
dari antri tiket, keriuhan dan kericuhan di stasiun, terminal, pelabuhan,
bahkan tempat elit seperti bandara, kemacetan parah di sepanjang jalur mudik,
ketidaknyamanan sarana dan prasarana transportasi, serta tak luput dari berita
kecelakaan maut. Cerita mudik bahkan berkembang dengan munculnya fenomena
pemudik jarak jauh yang menggunakan sepeda motor.
Istilah mudik
secara spesifik merujuk pada sebuah tindakan yang bersifat massal yang diwujudkan
dalam perpindahan fisik manusia dari satu tempat ke tempat lain dalam sebuah
momen yang bersamaan. Momen mudik kini tidak hanya dilakukan pada libur
hari-hari besar agama, tetapi juga dilakukan pada momen tahun baru atau
peringatan hari kemerdekaan nasional. Namun demikian, sebagai negara dengan
pemeluk agama Islam terbanyak di dunia,
dapat dipahami jika mudik di Indonesia lebih bergemuruh dan memberikan suguhan
drama yang sensasional pada momen peringatan hari raya idul fitri atau lebaran.
Fenomena mudik
sesungguhnya tidaklah endemik yang otentik negeri ini, karena di beberapa
masyarakat dunia pun sebenarnya mengenal tradisi mudik sebagaimana dilakukan
oleh sebagian besar masyarakat di belahan dunia barat yang ingin merayakan
kehangatan natal bersama keluarga, atau masyarakat China yang senantiasa
menjadikan momen peringatan imlek sebagai ajang reuni keluarga. Di beberapa
negara Islam, seperti Bangladesh, Mesir atau Pakistan konon fenomena mudik juga
dapat dijumpai. Yang sangat original dan typical
dari fenomena mudik ala indoneisa ini sesungguhnya adalah kesemrawutan,
permasalahan dan manajemen penanganan mudik yang sangat repetitif, berulang dan
berulang.
Dengan kondisi
yang penuh carut marut dan resiko tersebut, jumlah pemudik tak pernah surut
jumlahnya meski ditengah suasana ekonomi yang sulit sekalipun. Jumlah pemudik
dari Jakarta dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan. Pada tahun 2006
jumlah pemudik yang menggunakan angkutan umum baik darat, laut dan udara
tercatat sebanyak 2.050.687 orang, kemudian pada tahun 2007 naik menjadi
2.184.502 dan musim lebaran tahun 2008 ini, Pemerintah DKI Jakarta memprediksikan
bahwa pemudik tahun ini akan bertambah menjadi 2.485.165 atau terjadi kenaikan
kurang lebih 9% dari tahun sebelumnya. Angka tersebut belum termasuk pemudik
dari kota-kota besar lain seperti Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Semarang, Medan,
Makasar dan kota-kota lainnya di Indonesia. Jumlah tersebut juga belum mencakup
pemudik yang menggunakan sepeda motor. Moda transportasi sepeda motor yang
sebenarnya menjadi moda paling beresiko semakin menjadi alternatif ditengah
semakin mahalnya biaya tranportasi yang harus dibayar sebagai akibat dari
kenaikan harga bahan bakar dan suku cadang serta biaya operasional yang harus
ditanggung oleh perusahaan transportasi.
Mengapa harus
mudik? Mengapa harus rela mempertaruhkan resiko dan ketidaknyamaan disepanjang perjalanan? Tulisan
ini tidak bermaksud mempertanyakan tujuan (objectives)
dari mudik karena nilai dan norma sebagian besar masyarakat kita tetap
memandang ”sungkeman” dan
bersilaturahmi dengan orang tua, kerabat dan sanak saudara tetapkan menjadi
nilai utama dalam kebudayaan kita, tetapi lebih kepada analisis mengapa orang
bersedia menukar semua ketidaknyamanan tersebut dengan romantisme lebaran di
tanah kelahiran.
Rasionalitas Mudik
Bagi masyarakat
yang mengagung-agungkan rasionalitas, segala resiko, ketidaknyamanan dan carut
marutnya kegiatan mudik lebaran tersebut tentu sebuah irasionalitas yang harus
dibayar sangat mahal oleh pemudik. Pemudik dalam strata sosial ekonomi menengah
ke bawah, tentu saja menjadi subjek paling menderita karena mereka hanya mampu
membayar tiket kelas ekonomi untuk mendapatkan fasilitas yang terkadang sangat
tidak manusiawi, rawan berbagai modus kejahatan, dan penuh kompetisi untuk
mendapatkannya. Ilustrasi khasnya dapat berupa pemudik yang berebut tempat
duduk hingga harus menjadikan jendela sebagai pintu masuk, gerbong kereta yang
melebihi kapasitas, toilet atau gerbang kereta barang yang disulap menjadi
tempat duduk, dek kapal yang mirip kaleng sarden, motor yang melebihi kapasitas
serta aksi perampasan, penipuan dan pembiusan oleh penjahat yang menyamar
sebagai pemudik.
Mereka yang lebih
berada, tentu saja akan mendapatkan fasilitas yang lebih nyaman karena mereka
dapat mempergunakan berbagai moda transportasi, mulai dari kenyamanan mobil
(pribadi atau sewaan), bis antar kota, kereta
api atau kapal kelas eksekutif, atau pesawat
udara dengan segudang fasilitas yang mampu menyingkat waktu perjalanan, maupun dengan
memanfaatkan menjamurnya jasa travel yang bisa mengantarkan pemudik hingga depan rumah tujuan. Semua kenyamanan dan
kemewahan tersebut tentu saja harus dibayar dengan harga yang mahal dan
berlipat-lipat dari harga di hari-hari biasanya (regular season). Harga mahal yang mereka bayarkan tidak serta merta
bebas dari masalah, karena apabila tidak beruntung mereka harus tetap iklas menerima
”bonus perjalanan” berupa kemacetan di sepanjang jalur mudik atau delayed
jadual keberangkatan yang mengesalkan.
Konklusi yang
diambil bagi mereka yang belum pernah melakukan perjalanan mudik dapat ditebak
: mudik adalah sebuah laku (tindakan) irasional! Berbicara tentang
rasionalitas, Max Weber yang hidup dalam spirit aufklarung masyarakat Jerman, lebih dari satu abad lampau telah
mencoba menganalisis perilaku sosial secara interpretatif dengan penjelasan
secara kausalitas atas sebab dan akibatnya (Kinloch, 2005). Menjadi rasional (being rational) dalam kaca mata Weber bukanlah masalah tujuan (objective) tetapi lebih kepada cara atau
proses mencapai tujuan itu sendiri. Dan tindakan untuk mencapai tujuan tersebut
merupakan sebuah tindakan sukarela dari para actor (pelaku) yang sarat makna interpretatif sehingga seringkali
disebut sebagai voluntary meaningful
social action. Setiap individu mempunyai tujuan-tujuan yang sangat bersifat
pribadi, dan untuk mencapai tujuan tersebut akan ditentukan cara yang paling
rasional menurut individu itu sendiri. Individu yang rasional menurut Weber
adalah individu yang mampu mencapai tujuan yang diinginkan dengan biaya (cost) paling murah, efektif, efisien tanpa melanggar rambu-rambu
budaya (nilai dan norma yang berlaku) dan memperhatikan situasi dan kondisi
pada saat itu.
Dari penjelasan
tersebut dapat dipahami bahwa, cara orang melakukan ritus mudik, yang pertama, sangat dipengaruhi dan
didorong oleh cultural values/norms
yang hingga saat ini masih kuat tertanam dalam mind set sebagian besar masyarakat indonesia, bahwa mudik harus
diimplementasikan dalam sebuah perjumpaan secara fisik dan lahir sebagai
manifestasi dari kesungguhan dan ketulusan prosesi maaf memaafkan dan respek
kepada orang-orang yang dihormati (orang tua terutama). Kehadiran teknologi
informasi terutama telefon selular dirasakan masih belum bisa mensubstitusi
kehadiran fisik dan mengurangi kesakralan maupun romantisme acara sungkeman
yang terkadang sentimentil. Magis pembicaraan melalui telefon apalagi kartu pos
atau SMS jelas kalah kelas dibandingkan dengan kehadiran fisik secara langsung
dalam menghadirkan drama saling memaafkan yang penuh isak tangis haru pasca
sholat ied.
Romantisme
lebaran juga mendapatkan dorongan dari nilai-nilai untuk menghormati dan menghargai simbol-simbol
budaya dalam lebaran, seperti yang ditunjukkan dalam budaya ziarah kubur ke
makam lelulur (nyadran) atau prosesi menyantap
hidangan (kulineri) khas lebaran bersama-sama, hingga saat ini jelas belum bisa
sepenuhnya digantikan dengan kehadiran teknologi informasi tercanggih
sekalipun. Intinya, nilai-nilai budaya menyatakan bahwa mudik adalah ”it’s a must” atau sebuah keharusan. Dan
nilai budaya ini masih berlaku di semua kalangan masyarakat, baik mereka yang
ada di kelas sosial ekonomi, baik di level bawah, menengah maupun atas.
Kedua, cara yang dilakukan orang untuk mencapai tujuan (mudik)
sangat dipengaruhi oleh situasi – kondisi (conditional
– situational) yang ada. Inilah yang membedakan bagaimana orang melakukan
perjalanan mudik. Tidak ada seorangpun yang menginginkan berada dalam gerbong
kereta yang over loaded, pengap,
tanpa sanitasi yang memadai, mudik dengan sepeda motor penuh resiko, terperangkap
kemacetan parah, menyumpahi pelayanan birokrasi bandara atau agen perjalanan
dan segala macam tetek bengek keamburadulan manajemen transportasi lainnya.
Namun situasi dan kondisi (terutama ekonomi) memaksa pemudik untuk melakukan
dan menjalani ritual mudik, tentunya sesuai dengan kapasitas dan modal yang
dimilikinya, sambil berharap bahwa di tahun yang akan datang kondisinya akan
berubah menjadi lebih baik sehingga mampu memiliki dan memilih alternatif
perjalanan mudik yang lebih baik. Perpaduan antara nilai-norma budaya dan
situasi kondisi yang ada inilah yang
menghasilkan cara melakukan mudik yang berbeda-beda dari setiap individu.
Rasionalitas Pemegang
Otoritas
Dari penjelasan
tersebut terlihat bahwa kita tidak bisa mengatakan bahwa mudik adalah sebuah
laku yang rasional atau tidak rasional, karena sangat bersifat individual
terutama dalam motivasi setiap pemudik yang bermacam-macam, mulai dari yang
bersifat tradisi (traditional rationality)
atau rasionalitas yang didasarkan pada kebiasaan-kebiasaan masyarakat umum yang
senantiasa menterjemahkan lebaran ekuivalen dengan mudik dan lebaran akan
kehilangan maknanya jika tidak dilengkapi dengan ritual perjalanan mudik. Bagi
pemudik yang menjunjung tinggi ajaran agama, akan memandang bahwa mudik adalah
kegiatan asketis yang harus hadir secara langsung karena mempunyai nilai ibadah
yang lebih tinggi sehingga mereka dapat dikategorikan ke dalam individu dengan
rasionalitas yang didasarkan pada orientasi nilai tertentu (value oriented rationality). Sedangkan
bagi mereka yang berfikir bahwa mudik adalah atas nama penghargaan terhadap
hubungan yang emosional dengan orang-orang terdekat di kampung halaman dapat
dikategorikan sebagai rasionalitas yang berorientasi para pengaruh atau
perilaku emosional (affective rationality).
Kategori rasionalitas terakhir adalah purpose
rationality, sebuah tindakan rasionalitas yang dilakukan dengan
menganalisis hal-hal yang telah terjadi dibelakang hari dan memperhitungkan
kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dalam pencapaian tujuan.
Para pemudik saat
ini diharapkan semakin hari semakin cerdas dengan membuat
perhitungan-perhitungan untuk melakukan perjalanan mudik yang sebisa mungkin
murah, efektif dan efisien. Belajar dari pengalaman-pengalaman mudik yang
pernah dijalani, para pemudik semakin pintar memanfaatkan teknologi untuk
membuat strategi perjalanan yang nyaman, jadual yang rapih dan alternatif
tindakan lain yang diperlukan. Termasuk kemungkinan untuk menunda mudik atau
tidak melakukan perjalanan dalam masa utama (peak season)
Dan untuk
masyarakat pemudik, jika lebaran tahun
ini kita masih menemukan mudik yang penuh carut marut, pelayanan yang
begitu-begitu saja, aspal yang masih bolong-bolong, baku sikut dengan pemudik
lain atau bahkan anda batal mudik karena sibuk mencari gas elpiji, mohon sisakan
sedikit maaf dari lubuk hati yang paling dalam untuk para pemegang otoritas
negeri ini, karena terbukti bahwa sebagai organisasi modern, birokrasi
seharusnya bisa belajar dari masa lalu dan bukan keledai yang terantuk di
lubang yang sama...
Siapa sebenarnya
yang tidak rasional?