Saturday, July 27, 2013

MENGAPA HARUS MUDIK?


Setiap tahun di ujung bulan ramadhan kita senantiasa disuguhkan dengan sebuah drama menarik : mudik lebaran. Sebuah episode yang senantiasa menyuguhkan tema-tema lama mulai dari antri tiket, keriuhan dan kericuhan di stasiun, terminal, pelabuhan, bahkan tempat elit seperti bandara, kemacetan parah di sepanjang jalur mudik, ketidaknyamanan sarana dan prasarana transportasi, serta tak luput dari berita kecelakaan maut. Cerita mudik bahkan berkembang dengan munculnya fenomena pemudik jarak jauh yang menggunakan sepeda motor.
Istilah mudik secara spesifik merujuk pada sebuah tindakan yang bersifat massal yang diwujudkan dalam perpindahan fisik manusia dari satu tempat ke tempat lain dalam sebuah momen yang bersamaan. Momen mudik kini tidak hanya dilakukan pada libur hari-hari besar agama, tetapi juga dilakukan pada momen tahun baru atau peringatan hari kemerdekaan nasional. Namun demikian, sebagai negara dengan pemeluk  agama Islam terbanyak di dunia, dapat dipahami jika mudik di Indonesia lebih bergemuruh dan memberikan suguhan drama yang sensasional pada momen peringatan hari raya idul fitri atau lebaran.
Fenomena mudik sesungguhnya tidaklah endemik yang otentik negeri ini, karena di beberapa masyarakat dunia pun sebenarnya mengenal tradisi mudik sebagaimana dilakukan oleh sebagian besar masyarakat di belahan dunia barat yang ingin merayakan kehangatan natal bersama keluarga, atau masyarakat China yang senantiasa menjadikan momen peringatan imlek sebagai ajang reuni keluarga. Di beberapa negara Islam, seperti Bangladesh, Mesir atau Pakistan konon fenomena mudik juga dapat dijumpai. Yang sangat original dan typical dari fenomena mudik ala indoneisa ini sesungguhnya adalah kesemrawutan, permasalahan dan manajemen penanganan mudik yang sangat repetitif, berulang dan berulang.
Dengan kondisi yang penuh carut marut dan resiko tersebut, jumlah pemudik tak pernah surut jumlahnya meski ditengah suasana ekonomi yang sulit sekalipun. Jumlah pemudik dari Jakarta dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan. Pada tahun 2006 jumlah pemudik yang menggunakan angkutan umum baik darat, laut dan udara tercatat sebanyak 2.050.687 orang, kemudian pada tahun 2007 naik menjadi 2.184.502 dan musim lebaran tahun 2008 ini, Pemerintah DKI Jakarta memprediksikan bahwa pemudik tahun ini akan bertambah menjadi 2.485.165 atau terjadi kenaikan kurang lebih 9% dari tahun sebelumnya. Angka tersebut belum termasuk pemudik dari kota-kota besar lain seperti Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Semarang, Medan, Makasar dan kota-kota lainnya di Indonesia. Jumlah tersebut juga belum mencakup pemudik yang menggunakan sepeda motor. Moda transportasi sepeda motor yang sebenarnya menjadi moda paling beresiko semakin menjadi alternatif ditengah semakin mahalnya biaya tranportasi yang harus dibayar sebagai akibat dari kenaikan harga bahan bakar dan suku cadang serta biaya operasional yang harus ditanggung oleh perusahaan transportasi.
Mengapa harus mudik? Mengapa harus rela mempertaruhkan resiko dan  ketidaknyamaan disepanjang perjalanan? Tulisan ini tidak bermaksud mempertanyakan tujuan (objectives) dari mudik karena nilai dan norma sebagian besar masyarakat kita tetap memandang ”sungkeman” dan bersilaturahmi dengan orang tua, kerabat dan sanak saudara tetapkan menjadi nilai utama dalam kebudayaan kita,  tetapi lebih kepada analisis mengapa orang bersedia menukar semua ketidaknyamanan tersebut dengan romantisme lebaran di tanah kelahiran.

Rasionalitas Mudik
Bagi masyarakat yang mengagung-agungkan rasionalitas, segala resiko, ketidaknyamanan dan carut marutnya kegiatan mudik lebaran tersebut tentu sebuah irasionalitas yang harus dibayar sangat mahal oleh pemudik. Pemudik dalam strata sosial ekonomi menengah ke bawah, tentu saja menjadi subjek paling menderita karena mereka hanya mampu membayar tiket kelas ekonomi untuk mendapatkan fasilitas yang terkadang sangat tidak manusiawi, rawan berbagai modus kejahatan, dan penuh kompetisi untuk mendapatkannya. Ilustrasi khasnya dapat berupa pemudik yang berebut tempat duduk hingga harus menjadikan jendela sebagai pintu masuk, gerbong kereta yang melebihi kapasitas, toilet atau gerbang kereta barang yang disulap menjadi tempat duduk, dek kapal yang mirip kaleng sarden, motor yang melebihi kapasitas serta aksi perampasan, penipuan dan pembiusan oleh penjahat yang menyamar sebagai pemudik.
Mereka yang lebih berada, tentu saja akan mendapatkan fasilitas yang lebih nyaman karena mereka dapat mempergunakan berbagai moda transportasi, mulai dari kenyamanan mobil (pribadi atau sewaan),  bis antar kota, kereta api atau kapal kelas eksekutif,  atau pesawat udara dengan segudang fasilitas yang mampu menyingkat waktu perjalanan, maupun dengan memanfaatkan menjamurnya jasa travel yang bisa mengantarkan pemudik hingga  depan rumah tujuan. Semua kenyamanan dan kemewahan tersebut tentu saja harus dibayar dengan harga yang mahal dan berlipat-lipat dari harga di hari-hari biasanya (regular season). Harga mahal yang mereka bayarkan tidak serta merta bebas dari masalah, karena apabila tidak beruntung mereka harus tetap iklas menerima ”bonus perjalanan” berupa kemacetan di sepanjang jalur mudik atau  delayed jadual keberangkatan yang mengesalkan.
Konklusi yang diambil bagi mereka yang belum pernah melakukan perjalanan mudik dapat ditebak : mudik adalah sebuah laku (tindakan) irasional! Berbicara tentang rasionalitas, Max Weber yang hidup dalam spirit aufklarung masyarakat Jerman, lebih dari satu abad lampau telah mencoba menganalisis perilaku sosial secara interpretatif dengan penjelasan secara kausalitas atas sebab dan akibatnya (Kinloch, 2005).  Menjadi rasional (being rational) dalam kaca mata Weber bukanlah masalah tujuan (objective) tetapi lebih kepada cara atau proses mencapai tujuan itu sendiri. Dan tindakan untuk mencapai tujuan tersebut merupakan sebuah tindakan sukarela dari para actor (pelaku) yang sarat makna interpretatif sehingga seringkali disebut sebagai voluntary meaningful social action. Setiap individu mempunyai tujuan-tujuan yang sangat bersifat pribadi, dan untuk mencapai tujuan tersebut akan ditentukan cara yang paling rasional menurut individu itu sendiri. Individu yang rasional menurut Weber adalah individu yang mampu mencapai tujuan yang diinginkan  dengan biaya (cost) paling murah, efektif, efisien tanpa melanggar rambu-rambu budaya (nilai dan norma yang berlaku) dan memperhatikan situasi dan kondisi pada saat itu.
Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa, cara orang melakukan ritus mudik, yang pertama, sangat dipengaruhi dan didorong oleh cultural values/norms yang hingga saat ini masih kuat tertanam dalam mind set sebagian besar masyarakat indonesia, bahwa mudik harus diimplementasikan dalam sebuah perjumpaan secara fisik dan lahir sebagai manifestasi dari kesungguhan dan ketulusan prosesi maaf memaafkan dan respek kepada orang-orang yang dihormati (orang tua terutama). Kehadiran teknologi informasi terutama telefon selular dirasakan masih belum bisa mensubstitusi kehadiran fisik dan mengurangi kesakralan maupun romantisme acara sungkeman yang terkadang sentimentil. Magis pembicaraan melalui telefon apalagi kartu pos atau SMS jelas kalah kelas dibandingkan dengan kehadiran fisik secara langsung dalam menghadirkan drama saling memaafkan yang penuh isak tangis haru pasca sholat ied. 
Romantisme lebaran juga mendapatkan dorongan dari nilai-nilai  untuk menghormati dan menghargai simbol-simbol budaya dalam lebaran, seperti yang ditunjukkan dalam budaya ziarah kubur ke makam lelulur (nyadran) atau prosesi menyantap hidangan (kulineri) khas lebaran bersama-sama, hingga saat ini jelas belum bisa sepenuhnya digantikan dengan kehadiran teknologi informasi tercanggih sekalipun. Intinya, nilai-nilai budaya menyatakan bahwa mudik adalah ”it’s a must” atau sebuah keharusan. Dan nilai budaya ini masih berlaku di semua kalangan masyarakat, baik mereka yang ada di kelas sosial ekonomi, baik di level bawah, menengah maupun atas.
Kedua, cara yang dilakukan orang untuk mencapai tujuan (mudik) sangat dipengaruhi oleh situasi – kondisi (conditional – situational) yang ada. Inilah yang membedakan bagaimana orang melakukan perjalanan mudik. Tidak ada seorangpun yang menginginkan berada dalam gerbong kereta yang over loaded, pengap, tanpa sanitasi yang memadai, mudik dengan sepeda motor penuh resiko, terperangkap kemacetan parah, menyumpahi pelayanan birokrasi bandara atau agen perjalanan dan segala macam tetek bengek keamburadulan manajemen transportasi lainnya. Namun situasi dan kondisi (terutama ekonomi) memaksa pemudik untuk melakukan dan menjalani ritual mudik, tentunya sesuai dengan kapasitas dan modal yang dimilikinya, sambil berharap bahwa di tahun yang akan datang kondisinya akan berubah menjadi lebih baik sehingga mampu memiliki dan memilih alternatif perjalanan mudik yang lebih baik. Perpaduan antara nilai-norma budaya dan situasi kondisi yang ada  inilah yang menghasilkan cara melakukan mudik yang berbeda-beda dari setiap individu.

Rasionalitas Pemegang Otoritas
Dari penjelasan tersebut terlihat bahwa kita tidak bisa mengatakan bahwa mudik adalah sebuah laku yang rasional atau tidak rasional, karena sangat bersifat individual terutama dalam motivasi setiap pemudik yang bermacam-macam, mulai dari yang bersifat tradisi (traditional rationality) atau rasionalitas yang didasarkan pada kebiasaan-kebiasaan masyarakat umum yang senantiasa menterjemahkan lebaran ekuivalen dengan mudik dan lebaran akan kehilangan maknanya jika tidak dilengkapi dengan ritual perjalanan mudik. Bagi pemudik yang menjunjung tinggi ajaran agama, akan memandang bahwa mudik adalah kegiatan asketis yang harus hadir secara langsung karena mempunyai nilai ibadah yang lebih tinggi sehingga mereka dapat dikategorikan ke dalam individu dengan rasionalitas yang didasarkan pada orientasi nilai tertentu (value oriented rationality). Sedangkan bagi mereka yang berfikir bahwa mudik adalah atas nama penghargaan terhadap hubungan yang emosional dengan orang-orang terdekat di kampung halaman dapat dikategorikan sebagai rasionalitas yang berorientasi para pengaruh atau perilaku emosional (affective rationality). Kategori rasionalitas terakhir adalah purpose rationality, sebuah tindakan rasionalitas yang dilakukan dengan menganalisis hal-hal yang telah terjadi dibelakang hari dan memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dalam pencapaian tujuan.
Para pemudik saat ini diharapkan semakin hari semakin cerdas dengan membuat perhitungan-perhitungan untuk melakukan perjalanan mudik yang sebisa mungkin murah, efektif dan efisien. Belajar dari pengalaman-pengalaman mudik yang pernah dijalani, para pemudik semakin pintar memanfaatkan teknologi untuk membuat strategi perjalanan yang nyaman, jadual yang rapih dan alternatif tindakan lain yang diperlukan. Termasuk kemungkinan untuk menunda mudik atau tidak melakukan perjalanan dalam masa utama (peak season)
Dan untuk masyarakat pemudik,  jika lebaran tahun ini kita masih menemukan mudik yang penuh carut marut, pelayanan yang begitu-begitu saja, aspal yang masih bolong-bolong, baku sikut dengan pemudik lain atau bahkan anda batal mudik karena sibuk mencari gas elpiji, mohon sisakan sedikit maaf dari lubuk hati yang paling dalam untuk para pemegang otoritas negeri ini, karena terbukti bahwa sebagai organisasi modern, birokrasi seharusnya bisa belajar dari masa lalu dan bukan keledai yang terantuk di lubang yang sama...
Siapa sebenarnya yang tidak rasional?

TEORI KONSPIRASI



Secara teoritis, saya tidak tahu pasti pengusung teori ini. Pun definisi secara akademik ilmiah. Yang jelas, wikipedia menterjemahkan teori konspirasi (conspiracy theory) sebagai persekongkolan. Selanjutnya om wiki menjelaskan bahwa teori ini berusaha menjelaskan bahwa penyebab tertinggi  dari satu atau serangkaian peristiwa (pada umumnya peristiwa politik, soisal atau sejarah) adalah suatu rahasia, dan seringkali memperdaya, direncanakan diam-diam oleh sekelompok rahasia orang-orang atau organisasi yang sangat berkuasa atau brepengaruh.

Konspirasi selalu menarik untuk dicermati dan dianalisis bagi mereka yang mau berfikir diluar mainstream dan tidak mau menerima begitu saja konstruksi umum yang terkadang merupakan produk sang pemenang. Konspirasi memang susah dibuktikan, tetapi terkadang sangat terang alur dan hubungan yang terjalin dalam sebuah peristiwa. Sang pemenang tentu saja akan terus menerus membuat ceritanya abadi, dengan menutup-nutupi kebenarannya.

Terlalu banyak peristiwa sejarah yang hingga kini masih menjadi misteri dan tentu saja yang tercantum dalam teks sejarah adalah versi sang pemenang. Sejarah perang dunia I mencatat dan tentu saja menjadi tanda tanya bagaimana Amerika Serikat yang secara geografis sangat jauh dari arena perang di daratan Eropa mau mengorbankan ribuan pemudanya dan juga milyaran dollar anggaran keuangan negaranya dan terlibat dalam perang yang luar biasa kejam. Adalah kapal penumpang Lusitania pada tanggal 7 Mei 1915 yang berisi sebagian warga negara Amerika Serikat yang berlayar dari New York ke Liverpool dan dengan sukses menjadi sasaran torpedo U-boat Jerman di Atlantik Utara dijadikan sebagai pembenar bagi Amerika Serikat untuk terjun ke gelanggang perang. Tak pernah ada penyelidikan serius tentang dugaan bahwa kapal tersebut sengaja diumpankan untuk kemudian dihajar oleh Jerman. Teori konspirasi menyimpulkan bahwa ini adalah sebuah persekutuan dari negara-negara sekutu yang memang memerlukan dukungan dan bantuan militer Amerika untuk mengalahkan Jerman serta kepentingan para konglomerat yang menikmati keuntungan dari perang dengan perdagangan peralatan militer.

Gembar-gembor holocaust yang dibesar-besarkan oleh Israel diduga dilakukan sebagai alasan untuk membela negara Yahudi Israel dan secara internal selalu dipergunakan oleh Israel untuk menyatukan bani israel sebagai sebuah bangsa. Perang suci George Bush melawan terorisme tak lebih untuk menutup-nutupi motif ekonomi dengan menguasai ladang-ladang minyak di Irak dan Afganistan serta memenuhi syahwat koboi Bush yang haus darah dan perang, dan pengeboman menara kembar tak lebih dari skenario global  zionis karena ternyata dari ribuan korban, ternyata sedikit sekali orang Yahudi yang menjadi korban.

Point terpenting dari teori ini adalah persekongkolan dilakukan dan didesain oleh mereka yang mempunyai kekuasaan, dan biasanya yang menjadi korban adalah mereka yang papa, nirkuasa dan bodoh. Mengapa? Sangat sederhana jawabannya bahwa mereka yang seringkali dijadikan korban (bisa juga menjadi kambing hitam) adalah mereka yang tidak berdaya, tidak memiliki sumber daya untuk melakukan serangan balasan dan biasanya cenderung pasrah dan menganggap ini sebagai bagian dari ujian Tuhan semata. Point berikutnya saya melihat bahwa persekongkolan ini tentu saja sangat, sangat, sangat  jahat sekali karena berupaya mengalihkan satu isu atau permasalahan besar yang berkaitan dengan dirinya kepada orang lain atau permasalahan lain.

Jika sebagian besar orang Indonesia gerah melihat situasi politik dan sosial saat ini, tak terlepas dari berbagai persekongkolan jahat yang dilakukan oleh mereka yang punya kuasa. Isu korupsi menjadi sangat ampuh sebagai senjata untuk membunuh lawan politik, sehingga dagelan-dagelan dengan tema korupsi silih  berganti hadir, tentu saja dengan bumbu politik. Century, Lumpur Lapindo,  Penyerbuan markas PDI, Kerusuhan di Jakarta, Penembakan Mahasiswa, Penculikan Aktivis, Pembunuhan Marsinah dan Udin, adalah sedikit dari kasus di tingkat nasional yang melibatkan kekuasaan.

Bukan hanya ditingkat nasional, dalam level lebih kecil ketika otonomi daerah menghasilkan raja-raja kecil yang berkuasa, persekongkolan seringkali dilakukan dengan mereka yang memiliki kekuasaan yudikatif untuk menutupi borok dan kejahatan besar mereka. Mereka yang memiliki kekuasaan yudikatifpun sangat pintar melihat peluang ini. Pertama mereka akan mengangkat kasus-kasus kecil yang menjerat orang-orang kecil dijerat dan dijadikan sebagai bukti bahwa mereka serius dan tak pandang bulu, shock teraphy. selanjutnya mereka akan menyasar kasus yang lebih besar secara masif. Selanjutnya mudah ditebak, kasus-kasus yang tidak terkait dengan struktur kekuasaan dan APBD akan diangkat untuk menutupi kasus besar yang sudah tersimpan di bawah karpet dan tertutupi dengan rupiah. Seperti kasus di sebuah daerah kecil di lereng selatan gunung berapi indah di Pulau Jawa, sekelompok orang yang terbukti tidak merugikan keuangan negara dihajar habis-habisan, diperas sampai kurus kering dengan pasal-pasal korupsi tanpa melihat fakta sosial, dan budaya setempat. Labeling korupsi seperti cap komunis pada saat keruntuhan orla, palu godam yang mematikan tanpa upaya pembelaan yang berarti, terlebih untuk mereka yang tak berpunya kuasa. Ujung-ujungnya jelas, diduga telah terjadi persekongkolan antara sang penguasa wilayah dengan mereka yang memiliki otoritas setempat untuk bersepakat mengangkat kasus tersebut untuk menutupi kejahatan-kejahatan yang lebih besar.  

Sebagai penutup saya hanya ingin mengutip dari tulisan tentang Perang Dunia I “The Great War, Perang Modern Terbesar Pertama” bahwa penyelidik di negara maju selalu menganjurkan untuk mengikuti kemana arah jalannya uang, maka anda akan menemukan jalan ke arah itu  (konspirasi atau persekongkolan tersebut). Terlihat nyata, tetapi selalu susah untuk membuktikan adanya persekongkolan, tapi tentu saja tidak buat mata dan tangan Tuhan. Nantikan saja kuasaNya.  


Sunday, July 14, 2013

LITTLE HOUSE ON THE PRAIRIE



Setiap minggu siang, film ini pernah menguasai ruang setiap rumah keluarga Indonesia dulu diakhir 70 hingga awal 80-an. Bisa dimaklumi karena pada saat itu, TVRI adalah satu-satunya stasiun televisi di Indonesia.  Bagi mereka yang tumbuh di era tersebut, film  drama keluarga produksi CBS Amerika yang diangkat dari novel laris Laura Ingalls Wilder yang berjudul Little House in The Prairie ; A Look Back to Yesterday ini, tentu saja sangat melekat dalam ingatan.

Film yang dibintangi oleh Michael Landon, Melissa Gilbert dan Karen Graisse ini bercerita tentang kehidupan keluarga di sebuah padang pertanian di daerah Walnut Grove, Minnesota. Konon cerita ini merupakan kisah nyata yang ditulis oleh Laura Ingalls tentang kehidupan keluarganya, keluarga Ingalls yang terdiri dari Charles Ingalls (ayahnya), Caroline Quiner Ingalls (ibunya), Mary Ingalls dan Carrie Ingals (saudaranya) dan tentu saja tentang Laura Ingalls sendiri. Dengan setting Amerika akhir abad 19, drama keluarga ini sangat memikat dari kekuatan ceritanya yang menonjolkan nilai-nilai keluarga amerika, dihiasi permasalahan keluarga dan sosial pada saat itu: alkoholisme, rasisme, adopsi, solidaritas.

Dari 203 episode (+5 episode spesial)  yang terentang dari tahun 1974 hingga 1983, sejujurnya saya tidak bisa mengingat satu persatu episode, apalagi adegan per adegan, mengingat pada saat itu saya masih sangat kecil. Kecuali adegan pembuka seorang gadis kecil yang berlari di padang rumput dan kemudian terjatuh, kemudian disambung dengan senyum seluruh anggota keluarga Ingalls. Yang saya tahu dan tangkap adalah, film ini berserita tentang perjuangan satu keluarga yang hijrah dari tanah asalnya (Kansas) menuju tanah baru di sebuah padang pertanian di Minnesota. Tanah padang yang kering sungguh merupakan tantangan yang menyatukan keluarga Ingalls untuk bisa bertahan hidup.
Charless Ingalls sungguh pemimpin (keluarga) yang ideal. Dengan segala keterbatasan dan kesederhanaan yang dimiliki, dia bisa hadir menjadi sosok yang bisa dihormati, bukan saja oleh keluarga, tetangga, sahabat bahkan “lawan” keluarga Ingalls. Dimata saya, karakter yang dimainkan oleh Michael Landon ini sungguh seksi. Mungkin berlebihan dan naif jika setting atau apa yang dilakukan oleh Ingalls family ditarik kemasa kini. Seperti melawan kemapanan jaman dimana hedonisme dan materialisme menjadi satu ukuran status sosial. Pekerjaan-pekerjaan priyayi (pinjam stratifikasinya Clifford Geerzt) atau kaum white collar menjadi kelas utama yang dikejar-kejar dan menjadi idaman. Ingalls memilih “menyepi” dan bekerja keras menaklukkan alam barat yang keras, jauh dari gambaran kesuburan tanah kita yang dilukiskan oleh Koes Plus secara hiperbolis “tanah surga dimana tongkat kayu jadi tanaman”.

Gambaran perjuangan hidup keluarga Ingalls sebenarnya pernah ada dalam “versi” Indonesia, yakni serial televisi Keluarga Cemara yang juga diadopsi dari novel Arswendo Atmowiloto. Drama keluarga kebetulan ini juga ditayangkan oleh TVRI. Plotnya hampir sama, bagaimana keluarga cemara memutuskan untuk meninggalkan hingar bingar problematika kota besar (Jakarta) yang penuh dengan kemunafikan dan tinggal di sebuah kota kecil untuk memulai hidup baru yang lebih bersih.

Kini ketika hidup semakin terpolusi dengan berbagai macam persoalan, terjajah oleh tarik ulur kepentingan, idealisme yang tergadaikan oleh jabatan, tontonan kehidupan yang semakin penuh dengan sandiwara tidak bermutu, menjadi objek dari sistem yang penuh dengan benalu, serakah dan konspiratif, rasa keadilan yang semakin jauh dari nalar, relasi sosial perkotaan yang semakin egoistis...  Menapaktilasi apa yang di lakukan oleh Charles Ingalls sungguh menggoda. Mungkin kini saatnya untuk hijrah, bukan saja secara spasial tapi juga secara mental.

Hijrah memang tak pernah mudah. Selalu perlu perjuangan dan pengorbanan. Membutuhkan kerja keras dan semangat yang tak pernah padam. Menaklukkan alam dan lingkungan baru adalah satu persoalan, dan menaklukkan diri sendiri adalah persoalan lain yang justru lebih besar....

I’m looking for the little house on the prairie...