Saturday, June 29, 2013

Numerologi Parpol



number (‘nΛmbә) angka, jumlah; vb memberi angka; menghitung
(Kamus Lengkap Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris, Wojowasito-Poerwadarminta)


Salah satu babak dalam episode Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 telah dimulai  pada tanggal 9 Juli 2008 malam di salah satu ruang di Gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jalan Imam Bonjol 29 Jakarta. Setelah melalui tahapan kualifikasi yang melelahkan, kini 34 partai politik lama maupun baru berhak berlaga di babak final dalam Pemilu tahun depan yang ditandai dengan pengundian nomor urut partai. Nomor urut menjadi sedemikian penting, sehingga KPU memutuskan untuk mengundi ke-34 angka untuk seluruh partai peserta pemilu dihadapan para Ketua dan Sekretaris Jenderal Partai. Acara ini mempunyai tensi ketegangan yang kira-kira sama dan sebangun dengan acara undian pembagian grup dalam Piala Eropa kemarin….
Simak beragam komentar seputar hasil pengundian nomor urut partai peserta pemilu yang sudah barang tentu menjadi berita menarik untuk dikonsumsi. Kita awali dengan senyum merekah Wiranto yang partainya memperoleh nomor paling wahid, atau Jusuf Kalla yang menganggap nomor 23 bagi Partai Golkar adalah sebuah berkah karena mudah diingat. Yenny Wahid yang berseteru dengan Muhaimin Iskandar boleh-boleh saja mengingkari bahwa nomor 13 bagi PKB tidak mempunyai pengaruh yang signifikan karena dalam kosmologi Jawa angka tersebut bukanlah angka yang ditakuti, meski dalam kenyataannya partainya masih terbelah dan penuh carut-marut. Puan Maharani yang mewakili PDI-P tetap pede dengan angka besar 28 dan tetap optimis merebut kembali suara rakyat seperti pada Pemilu 1999. Tifatul Sembiring menganggap adanya sebuah miracle dari nomor urut PK(S) yang melakukan tranformasi nomor berkelipatan delapan dari nomor 24 (tahun 1999), nomor 16 (tahun 2004) dan nomor 8 (tahun 2009). Sedemikian pentingkah nomor urut bagi sebuah partai?

Interaksi Simbolik
Sejarah angka sudah dimulai sejak manusia purba mengenal pentingnya simbolisasi jumlah benda ke dalam bentuk bilangan. Angka yang kita kenal dan kita pakai sekarang merupakan sebuah proses evolusi panjang perjalanan peradaban manusia. Dari deretan angka 1 sampai 9, lahirlah rumus-rumus aritmetika maupun geometri hingga diciptakannya formula canggih dalam ilmu matematika, fisika, kimia lainnya. Dari Phytagoras hingga Einstein, semua tak terlepas dari angka.
Setiap bangsa mempunyai kosmologi tersendiri untuk memaknai setiap lambang bilangan, seperti bangsa Cina yang sangat menghindari angka empat yang bukan saja dianggap bersudut tajam tetapi juga karena pelafalan angka empat dalam bahasa cina (si atau se)  yang konon homofon dengan kata ’kematian’. Begitupun dengan angka delapan dan sembilan yang lebih dekat dengan mitos hoki dan keberuntungan. Masyarakat barat secara tradisional mempercayai angka 13 dan angka 6 yang berhubungan dengan dunia setan. George W Bush-pun konon tersugesti dengan mengganti nomor rumahnya yang mengandung angka enam dengan angka lain.


Pengkultusan angka juga merembet hingga ke dunia olah raga (sepakbola terutama), sehingga nomor-nomor tertentu seringkali disangkut-pautkan dengan soal ikon, kegeniusan dan skill yang mumpuni dari bintang-bintang sepakbola yang diangap separuh dewa oleh para fans mereka. Di dunia sepak bola Amerika Latin terutama Argentina dan Brasil, nomor 10 dianggap keramat dan hanya pantas dikenakan oleh para superstar sekelas Maradona atau Pele. Klub sepakbola papan atas daratan Inggris dan Eropa, Manchester United memberikan privilege tersendiri untuk pemegang kaus bernomor punggung tujuh yang hanya pantas diisi oleh seorang George Best, Eric Cantona, David Beckham atau Cristiano Ronaldo.
Pada akhirnya nomor dan angka seakan menjadi barang sakral, sehingga para Ketua dan Sekjen Partai dan tentu saja para partisipan mereka berharap memperoleh nomor-nomor cantik dengan logika perhitungan-perhitungan tertentu. Angka ’satu’ jelas merepresentasikan superioritas dan simbol kedigdayaan, nomor ’dua’ adalah lambang kemenangan (victory) selain berharap-harap mewarisi kedigdayaan Golongan Karya yang identik dengan nomor dua di pentas politik era Orde Baru. Nomor tiga terlihat lebih gaya ketika ditunjukkan dalam salam tiga jari, simbol yang lekat dengan anak muda. Atau nomor ’lima’ yang seringkali diasosiasikan dengan perintah-perintah agama tertentu, sedangkan angka delapan dan sembilan tentu saja menawarkan keberuntungan. Angka-angka kembar seperti, 11, 22, atau 33 jelas menawarkan kemudahan untuk diingat oleh pemilih.
Nomor tentu saja bisa menjadi satu alternatif untuk lebih memperkenalkan partai kepada para pemilih, terutama untuk partai-partai debutan. Positioning partai baru yang cenderung lemah bisa tertolong dengan nomor urut partai yang lebih mudah melekat di kepala calon pemilih. Ditengah beragam nama-nama partai baru yang penuh singkatan dan lambang-lambang partai yang cenderung begitu-begitu saja (untuk sekedar tidak menyebut old fashioned), penyebutan nomor urut dianggap lebih mudah dalam menciptakan awareness pemilih. Indo Barometer melalui Direktur Eksekutifnya M. Qodari dalam rilis hasil surveinya menyatakan bahwa dengan jumlah parpol yang sedemikian banyak, masyarakat akan sulit mengingat atau membedakan nama, tanda gambar, pimpinan atau sikap politik antara satu parpol dengan parpol lainnya. (Kompas, 10 Juli 2008).
Dalam konteks inilah, partai politik akhirnya berupaya memanfaatkan nomor urut partai sebagai salah satu simbol dalam melakukan interaksi dengan pemilihnya. Meminjam istilah George Herbert Mead, pendekatan interaksi melalui simbol seperti ini disebut sebagai interaksionisme simbolik (syimbolic interactionism). Leslie White (1968) mendefinisikan simbol sebagai sesuatu yang nilai atau maknanya diberikan kepadanya oleh mereka yang mempergunakannya. Dan partai politik di Indonesia berupaya sedemikian rupa melakukan karoseri nilai dan makna tertentu terhadap nomor urut yang dimilikinya sebagai alat untuk meraih simpati pemilih.
Mistifikasi terhadap angka adalah sebuah refleksi dari realitas sosial masyarakat Indonesia yang sangat lekat dengan dunia simbolik, dan ketika ranah spiritual ditransformasikan ke dunia politik, ini membuat sebuah konfigurasi menarik. Dunia politik yang seharusnya merupakan institusi sosial modern dengan rasionalitas-empiriknyanya dipertautkan dengan dunia mistik-tradisonal. Dalam arena pemilihan Kepala Desa, Kepala Daerah hingga Presiden, aroma mistik ini sering tercium dan terselip diantara kumpulan tim sukses. Ketika SBY sukses dalam suksesi kepemimpinan nasional pada tahun 2004, angka dalam tanggal kelahiran SBY yang dipenuhi dengan angka sembilan dianggap sebagai salah satu variabel pendongkrak kesuksesan.

Transformasi Mantra dan Angka
Jika ternyata dunia gaib mempunyai pertautan erat dengan dunia politik, para pemilih dalam Pemilu 2009 nanti seharusnya bisa lebih cerdas membaca dan mewaspadai  mantra-mantra yang telah ditransformasikan kedalam berbagai model mantra modern yang dilontarkan oleh Partai Politik. Bukan rahasia lagi jika janji-janji manis yang dibumbui dengan politik uang (money politic)  menjadi mantra paling populer dan sakti dalam kampanye untuk membius kontestan terutama dari kalangan kelas menengah - bawah. Meskipun pada realitasnya mantra-mantra tersebut jarang sekali didukung dengan data faktual dan pemahaman akan sumber daya yang dimiliki serta kebutuhan masyarakat paling riil.
Setelah angka atau nomor urut partai menjadi sedemikian penting bagi kesuksesan sebuah partai politik sehingga menjadi simbol penting bagi parpol, langkah selanjutnya dari para politisi seharusnya adalah kemampuan untuk melihat lebih jeli lagi deretan angka-angka penting dan istimewa untuk Indonesia.  Angka-angka tersebut antara lain adalah : 107, yang merupakan peringkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia dari 177 negara, masih kalah dari Singapura (25), Malaysia (63), Chili (40), Suriname (85) atau Filipina (90) bahkan Vietnam (105) (data 2005).
Angka 9,43 juta merujuk pada pada jumlah penganggur (unemployment) yang ada di Indonesia pada posisi Bulan Februari 2008. Jumlah ini adalah 8,46% dari jumlah angkatan kerja yang ada. Sedangkan angka 34,96 juta adalah deretan angka yang memperlihatkan banyaknya penduduk masih masih hidup dibawah garis kemiskinan. Deretan angka yang kemungkinan akan mengalami peningkatan seiring dengan kenaikan harga minyak dipasaran global.
Jika mencari angka dalam jumlah digit yang lebih kecil, ada angka 12.000 yang merupakan jumlah korban lumpur panas Lapindo di Sidoarjo, yang hingga saat ini belum seluruhnya memperoleh keadilan atas bencana yang menimpa mereka. Jika 12.000 masih terlalu besar, satu digit angka terwakili dalam angka 3 yang merupakan nomor peringkat Indonesia dalam ’perlombaan’ korupsi sebagaimana hasil survei terhadap para pelaku bisnis asing di Indonesia yang dilakukan oleh PERC. Untungnya masih ada Filipina yang dianggap jalan ditempat (peringkat 1) dan Thailand yang masih disibukkan dengan peralihan kekuasaan dari pemerintahan sipil ke militer (diperingkat 2). Tentu saja masih banyak angka atau nomor cantik yang diharapkan dapat membukakan hati dan nurani para politisi yang akan bertarung dalam Pemilu nanti.
Pada akhirnya, angka adalah sederetan lambang bilangan yang mempunyai makna, tergantung bagaimana kita memaknainya. Berapapaun nomornya, apapun partainya, mereka yang peduli dan bekerja keras benar-benar untuk rakyat, akan menjadi nomor satu bagi rakyat. Adakah?


Pikiran Rakyat, Fokus, Minggu – 13 Juli 2008
(uncut version)
 

No comments:

Post a Comment