Pikiran Rakyat, Rabu, 9 September 2008 hal
20
Belum lekang
dari memori kita berbagai peristiwa bentrok antar anak bangsa di belahan bumi
Indonesia dalam berbagai tajuk dan tema, mulai dari sengketa Pemilihan Kepala
Daerah (Pilkada) hingga protes kenaikan
Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang memakan korban dari kedua belah pihak yang
bertikai. Diawal Bulan Juni ini, kita dikejutkan dengan peristiwa yang dikenal sebagai
Tragedi Monas, yang dilakukan oleh Komando Laskar Islam (KLI) dan kelompok yang
menamakan diri sebagai Front Pembela Islam (FPI) pada hari Minggu tanggal 1
Juni 2008. Peristiwa tersebut berbuntut dengan proses balas dendam berupa
pengrusakan markas FPI di Cirebon dan Yogyakarta
yang diakhiri dengan saling serang dan keroyok (TV One, 2 Juni 2008)
Miris jika kita
membayangkan tayangan tersebut direlay oleh jaringan televisi global dan ditonton
oleh jutaan pasang mata di berbagai penjuru dunia. Kita tinggal menunggu perspektif
negatif yang akan segera muncul dibenak orang luar negeri menyimpulkan apa yang
terlihat di televisi : stereotipy
masyarakat Indonesia
yang anarkhis, brutal dan intoleran!
Visualisasi
yang kita lihat di media massa (televisi
terutama) tersebut seakan-akan melunturkan citra bangsa Indonesia yang seringkali
dikampanyekan (dan mengklaim diri) sebagai bangsa yang sabar, penuh sopan
santun, ramah, mampu mengendalikan diri dan beradab. Mengapa sedemikan drastis
kondisi kehidupan sosial budaya bangsa kita mengalami degradasi? Mengapa
kerusuhan demi kerusuhan dalam berbagai skala dan eskalasi konflik seakan
arisan dari satu tempat ke temapt lain di Indonesia? Apakah ini merupakan
ekspresi budaya yang sebenarnya dari
masyarakat kita?
Ekspresi Demokrasi?
Berbagai
benturan yang terjadi di Indonesia
baik yang bersifat vertikal maupun horinsontal seringkali diawali dari kegiatan
demonstrasi. (sebagaimana yang terjadi di Monas kemarin). Sebuah aktivitas
menyampaikan pendapat yang diyakini sebagian masyarakat kita sebagai indikator
dari kemajuan demokrasi. Sebuah keyakinan yang sebenarnya menyesatkan, jika
output dari demonstrasi seringkali berujung pada prosesi brutal, saling serang,
saring melukai dan saling menghancurkan. Sebuah ironi ditengah pujian
untuk Indonesia sebagai negara demokrasi
ketiga terbesar di dunia setelah Amerika Serikat dan India...
Format demokrasi saat ini sebagai buah dari gerakan reformasi satu
dasawarsa yang lalu, dapat dikatakan masih berada dalam fase belajar, yang
sayangnya hingga kini tidak pernah belajar menjadi dewasa. Berbagai produk
undang-undang politik yang ada saat ini, sebenarnya jauh lebih demokratis dari
pada produk masa rejim Orde Baru, namun pada implementasinya belum mampu
mengatur dan mengarahkan perilaku dan budaya penyampaian aspirasi massa yang
lebih beradab. Anarkisme bukan saja dipertontonkan oleh masyarakat kalangan
bawah di jalanan, tetapi juga oleh para elit yang tidak mampu menahan syahwat
kekuasaannya dalam gedung dewan yang terhormat.
Setelah sepuluh tahun lepas dari cengkeraman kekuasaan otokrasi ”daripada”
rezim Suharto yang sangat sentralistis, saat ini demokrasi dimaknai sebagai
pemusatan kekuatan pada sekelompok masyarakat yang merasa lebih (superior) dari kelompok masyarakat
lainnya. Yang
terjadi adalah, proses demonstrasi sebagai ajang to show off force dan to
intimidate pihak lain. Saat ini, beberapa elit (politik maupun agama)
dengan sangat vulgar mempertontonkan kemampuan mereka dalam memobilisasi massa untuk memaksakan
kehendaknya dengan cara-cara yang sangat jauh dari “kamus peradaban manusia.” Atas
nama keyakinan dan ideologi yang mereka anut, mereka mengorbankan nilai-nilai
kemanusiaan dan hukum demi sebuah pembenaran terhadap tindakan menyakiti dan
menyerang pihak lain. Kebencian terhadap pihak lain diinternalisasikan secara
sistematis kepada setiap anggota kelompok bak organisasi multi level marketing professional.
Struktur dan Sistem
Sosial
Situasi yang
tercipta saat ini pada dasarnya merupakan rekonstruksi dari struktur sosial dan
sistem budaya yang terbangun sejak dulu di Indonesia. Harmonisasi masyarakat
majemuk Indonesia
yang ciptakan oleh pemerintahan Orde Baru terbukti semu dan bersifat artifisial.
Ketika sudah tidak mampu lagi merawat wajah negeri ini, ketika hantaman
eksternal menyerang negeri ini, terlihat rona asli wajah negeri kita yang
ternyata sangat rapuh dalam persatuan, sangat intoleran dalam kebhinekaan, dan
sangat biadab dalam kemanusiaan.
Selama kurang lebih tiga puluh dua tahun, penguasa Orde Baru mengelola negeri ini dengan pendekatan
positivistik. Sebuah pendekataan yang memberhalakan stabilitas nasional
untuk dan atas nama pembangunan. Berbagai perbedaan dan keanekaragaman Indonesia hanya terpampang
dalam untaian semboyan negara yang dilustrasikan melalui tulisan pada pita dalam lambang negara kita. Keberagamaan
dan perbedaan tersebut dianggap sebagai handicap
bagi proses pembangunan. Bisa dimaklumi jika ekspresi keberagaman dan perbedaan
tersebut senantiasa dapat diredam oleh kekuasaan pada saat itu. Melalui
atau tanpa kekuatan militer yang menjadi penjaga utama pemerintahan otoriter
ode baru.
Dan ketika tirai reformasi dibuka, masyarakat kita mengalami gegap
demokrasi, karena kita yang selama ini mengalami proses penyeragaman oleh
pemerintah masa lalu, ternyata tidak terbiasa menerima perbedaan. Uforia
demokrasi tersebut mengakibatkan proses penterjemahan makna demokrasi menjadi
”siapa kuat dia berkuasa” atau ”siapa
banyak kawan dia dominan”.
Indonesia adalah sebuah negeri yang penuh warna, semarak dengan perbedaan
dan indah dalam keberagaman. Ketidaksamaan yang mengisi struktur masyarakat Indonesia
adalah sebuah realitas sosial yang tak terbantahkan. Heterogenitas kita
terlihat dari Homogenity Index yang menempatkan Indonesia dalam
skor 24 dari skor homogen tertinggi 100. Atau duduk di peringkat 119 dari 135
negara yang diteliti. Indeks homogenitas ini didasarkan pada keberagaman
ras, agama dan bahasa. Semakin besar angka indeks yang diperoleh, maka semakin
besar pula kemungkinan negara tersebut homogen (Library Congress). Kita bukanlah Korea (Utara atau Selatan) yang
mempunyai angka homogenitas sempurna karena mereka mempunyai ras, bahasa dan
agama yang nyaris seragam.
Ini berarti, struktur masyarakat Indonesia bisa digambarkan dalam
berbagai garis baik yang bersifat vertikal, horisontal maupun diagonal dalam
sebuah bidang visualisasi dari apa yang dinamakan “masyarakat Indonesia”. Garis
yang saling menyilang tersebut dapat berupa garis yang menunjukkan berbagai perbedaan
yang ada di negeri ini, mulai dari agama, etnis, budaya, ideologi politik,
ekonomi dan sebagainya. Kita tidak dapat meniadakan garis-garis tersebut karena
itu adalah sebuah realitas dan keniscayaan masyarakat Indonesia.
Jika kita menganggap bahwa garis-garis tersebut membelah dan memisahkan
kita dengan kelompok lain karena mereka berbeda dan berlawanan dengan kita,
garis yang tercipta akan semakin terlihat tebal dan membuat sekat dengan pihak
lain tersebut. Ruang-ruang kosong yang tercipta tersebut akhirnya akan menjadi
jurang dan berongga dalam yang dengan mudah akan disusupi oleh semangat
kebencian, prasangka (prejudice), dan
selanjutnya dimanifestasikan dalam sikap memusuhi terhadap kelompok lain. Ruang
kosong yang membelah struktur masyarakat tersebut adalah tempat ideal bagi
mereka yang menginginkan kekacauan dan anarkhi dalam masyarakat, dengan
menjadikan kondisi carut-marut sosial yang penuh dengan aroma kemiskinan,
kebodohan, keputus-asaan dan ketidak-percayaanpada institusi pemerintah sebagai
pemicu (trigger) kerusuhan.
Kondisi sosial ekonomi dan politik Indonesia secara keseluruhan saat ini
juga menjadi alasan mengapa begitu mudah sebuah kelompok menyerang kelompok
lain sebagai kambing hitam. Ini terlihat dari alasan Kelompok FPI menyerang
Alainsi Kebangsaan untuk Kebebasan
Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) yang diyakini sebagai penghalang bagi upaya
mereka untuk membubarkan Ahmadyah di Indonesia. Dollard (1967) dalam teori
frustasi-agresi (frustation-agression
theory) mengatakan bahwa orang akan melakukan agresi manakala usahanya
untuk memperoleh kepuasan terhalang. Jika agresi tersebut tidak dapat ditujukan
pada pihak yang menghalangi usahanya, maka agresi tersebut dialihkan (displaced) ke suatu kambing hitam (scapegoat).
Namun demikian, jika kita masih percaya bahwa keberagaman warna dalam
pelangi adalah sebuah keindahan, kitapun dapat meyakini bahwa keberagaman yang
dimiliki oleh masyarakat Indonesia adalah sebuah anugerah Tuhan yang harus bisa
dinikmati oleh semua elemen masyarakat yang ada di Indonesia, sekalipun mereka
berbeda dengan dengan kita.
Pada akhirnya, harus diakui bahwa proses integrasi nasional yang terjadi
saat ini, masih diwarnai dengan berbagai tarik ulur kepentingan, baik yang
bersifat primordial, ekonomis, maupun politis. Proses ini terus dan tengah
berjalan sebagai bagian dari upaya manusia yang senantiasa mencari bentuk masyarakat
yang ideal dan penuh keseimbangan atau equilibrium (Parsons, 1952). Sebagai
sebuah masyarakat organik, ketidakseimbangan sekecil apapun bagian atau elemen
dari sebuah struktur masyarakat, akan mempengaruhi sistem kemasyarakatan tersebut
secara keseluruhan. Kuncinya adalah, kita harus belajar menerima kenyataan
bahwa kita adalah bagian dari sebuah masyarakat yang sangat beragam. Jangan
biarkan Indonesia terbelah.. dan pecah!
No comments:
Post a Comment