Saturday, June 29, 2013

Masyarakat yang Terbelah



Pikiran Rakyat, Rabu, 9 September 2008 hal 20


Belum lekang dari memori kita berbagai peristiwa bentrok antar anak bangsa di belahan bumi Indonesia dalam berbagai tajuk dan tema, mulai dari sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)  hingga protes kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang memakan korban dari kedua belah pihak yang bertikai. Diawal Bulan Juni ini, kita dikejutkan dengan peristiwa yang dikenal sebagai Tragedi Monas, yang dilakukan oleh Komando Laskar Islam (KLI) dan kelompok yang menamakan diri sebagai Front Pembela Islam (FPI) pada hari Minggu tanggal 1 Juni 2008. Peristiwa tersebut berbuntut dengan proses balas dendam berupa pengrusakan markas FPI di Cirebon dan Yogyakarta yang diakhiri dengan saling serang dan keroyok (TV One, 2 Juni 2008)

Miris jika kita membayangkan tayangan tersebut direlay oleh jaringan televisi global dan ditonton oleh jutaan pasang mata di berbagai penjuru dunia. Kita tinggal menunggu perspektif negatif yang akan segera muncul dibenak orang luar negeri menyimpulkan apa yang terlihat di televisi : stereotipy masyarakat Indonesia yang anarkhis, brutal dan intoleran!

Visualisasi yang kita lihat di media massa (televisi terutama) tersebut seakan-akan melunturkan citra bangsa Indonesia yang seringkali dikampanyekan (dan mengklaim diri) sebagai bangsa yang sabar, penuh sopan santun, ramah, mampu mengendalikan diri dan beradab. Mengapa sedemikan drastis kondisi kehidupan sosial budaya bangsa kita mengalami degradasi? Mengapa kerusuhan demi kerusuhan dalam berbagai skala dan eskalasi konflik seakan arisan dari satu tempat ke temapt lain di Indonesia? Apakah ini merupakan ekspresi budaya yang sebenarnya  dari masyarakat kita?
 
Ekspresi Demokrasi?
Berbagai benturan yang terjadi di Indonesia baik yang bersifat vertikal maupun horinsontal seringkali diawali dari kegiatan demonstrasi. (sebagaimana yang terjadi di Monas kemarin). Sebuah aktivitas menyampaikan pendapat yang diyakini sebagian masyarakat kita sebagai indikator dari kemajuan demokrasi. Sebuah keyakinan yang sebenarnya menyesatkan, jika output dari demonstrasi seringkali berujung pada prosesi brutal, saling serang, saring melukai dan saling menghancurkan. Sebuah ironi ditengah pujian untuk  Indonesia sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia setelah Amerika Serikat dan India...

Format demokrasi saat ini sebagai buah dari gerakan reformasi satu dasawarsa yang lalu, dapat dikatakan masih berada dalam fase belajar, yang sayangnya hingga kini tidak pernah belajar menjadi dewasa. Berbagai produk undang-undang politik yang ada saat ini, sebenarnya jauh lebih demokratis dari pada produk masa rejim Orde Baru, namun pada implementasinya belum mampu mengatur dan mengarahkan perilaku dan budaya penyampaian aspirasi massa yang lebih beradab. Anarkisme bukan saja dipertontonkan oleh masyarakat kalangan bawah di jalanan, tetapi juga oleh para elit yang tidak mampu menahan syahwat kekuasaannya dalam gedung dewan yang terhormat.

Setelah sepuluh tahun lepas dari cengkeraman kekuasaan otokrasi ”daripada” rezim Suharto yang sangat sentralistis, saat ini demokrasi dimaknai sebagai pemusatan kekuatan pada sekelompok masyarakat yang merasa lebih (superior) dari kelompok masyarakat lainnya. Yang terjadi adalah, proses demonstrasi sebagai ajang to show off force dan to intimidate pihak lain. Saat ini, beberapa elit (politik maupun agama) dengan sangat vulgar mempertontonkan kemampuan mereka dalam memobilisasi massa untuk memaksakan kehendaknya dengan cara-cara yang sangat jauh dari “kamus peradaban manusia.” Atas nama keyakinan dan ideologi yang mereka anut, mereka mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan dan hukum demi sebuah pembenaran terhadap tindakan menyakiti dan menyerang pihak lain. Kebencian terhadap pihak lain diinternalisasikan secara sistematis kepada setiap anggota kelompok bak organisasi multi level marketing professional.

 Struktur dan Sistem Sosial

Situasi yang tercipta saat ini pada dasarnya merupakan rekonstruksi dari struktur sosial dan sistem budaya yang terbangun sejak dulu di Indonesia. Harmonisasi masyarakat majemuk Indonesia yang ciptakan oleh pemerintahan Orde Baru terbukti semu dan bersifat artifisial. Ketika sudah tidak mampu lagi merawat wajah negeri ini, ketika hantaman eksternal menyerang negeri ini, terlihat rona asli wajah negeri kita yang ternyata sangat rapuh dalam persatuan, sangat intoleran dalam kebhinekaan, dan sangat biadab dalam kemanusiaan.

Selama kurang lebih tiga puluh dua tahun, penguasa Orde Baru  mengelola negeri ini dengan pendekatan positivistik. Sebuah pendekataan yang memberhalakan stabilitas nasional untuk dan atas nama pembangunan. Berbagai perbedaan dan  keanekaragaman Indonesia hanya terpampang dalam untaian semboyan negara yang dilustrasikan melalui tulisan pada  pita dalam lambang negara kita. Keberagamaan dan perbedaan tersebut dianggap sebagai handicap bagi proses pembangunan. Bisa dimaklumi jika ekspresi keberagaman dan perbedaan tersebut senantiasa dapat diredam oleh kekuasaan pada saat itu. Melalui atau tanpa kekuatan militer yang menjadi penjaga utama pemerintahan otoriter ode baru.

Dan ketika tirai reformasi dibuka, masyarakat kita mengalami gegap demokrasi, karena kita yang selama ini mengalami proses penyeragaman oleh pemerintah masa lalu, ternyata tidak terbiasa menerima perbedaan. Uforia demokrasi tersebut mengakibatkan proses penterjemahan makna demokrasi menjadi ”siapa kuat dia berkuasa” atau  ”siapa banyak kawan dia dominan”.

Indonesia adalah sebuah negeri yang penuh warna, semarak dengan perbedaan dan indah dalam keberagaman. Ketidaksamaan yang mengisi struktur masyarakat Indonesia adalah sebuah realitas sosial yang tak terbantahkan. Heterogenitas kita terlihat dari Homogenity Index yang menempatkan Indonesia dalam skor 24 dari skor homogen tertinggi 100. Atau duduk di peringkat 119 dari 135 negara yang diteliti. Indeks homogenitas ini didasarkan pada keberagaman ras, agama dan bahasa. Semakin besar angka indeks yang diperoleh, maka semakin besar pula kemungkinan negara tersebut homogen (Library Congress). Kita bukanlah Korea (Utara atau Selatan) yang mempunyai angka homogenitas sempurna karena mereka mempunyai ras, bahasa dan agama yang nyaris seragam.

Ini berarti, struktur masyarakat Indonesia bisa digambarkan dalam berbagai garis baik yang bersifat vertikal, horisontal maupun diagonal dalam sebuah bidang visualisasi dari apa yang dinamakan “masyarakat Indonesia”. Garis yang saling menyilang tersebut dapat berupa garis yang menunjukkan berbagai perbedaan yang ada di negeri ini, mulai dari agama, etnis, budaya, ideologi politik, ekonomi dan sebagainya. Kita tidak dapat meniadakan garis-garis tersebut karena itu adalah sebuah realitas dan keniscayaan masyarakat Indonesia.

Jika kita menganggap bahwa garis-garis tersebut membelah dan memisahkan kita dengan kelompok lain karena mereka berbeda dan berlawanan dengan kita, garis yang tercipta akan semakin terlihat tebal dan membuat sekat dengan pihak lain tersebut. Ruang-ruang kosong yang tercipta tersebut akhirnya akan menjadi jurang dan berongga dalam yang dengan mudah akan disusupi oleh semangat kebencian, prasangka (prejudice), dan selanjutnya dimanifestasikan dalam sikap memusuhi terhadap kelompok lain. Ruang kosong yang membelah struktur masyarakat tersebut adalah tempat ideal bagi mereka yang menginginkan kekacauan dan anarkhi dalam masyarakat, dengan menjadikan kondisi carut-marut sosial yang penuh dengan aroma kemiskinan, kebodohan, keputus-asaan dan ketidak-percayaanpada institusi pemerintah sebagai pemicu (trigger) kerusuhan.

Kondisi sosial ekonomi dan politik Indonesia secara keseluruhan saat ini juga menjadi alasan mengapa begitu mudah sebuah kelompok menyerang kelompok lain sebagai kambing hitam. Ini terlihat dari alasan Kelompok FPI menyerang Alainsi Kebangsaan  untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) yang diyakini sebagai penghalang bagi upaya mereka untuk membubarkan Ahmadyah di Indonesia. Dollard (1967) dalam teori frustasi-agresi (frustation-agression theory) mengatakan bahwa orang akan melakukan agresi manakala usahanya untuk memperoleh kepuasan terhalang. Jika agresi tersebut tidak dapat ditujukan pada pihak yang menghalangi usahanya, maka agresi tersebut dialihkan (displaced) ke suatu kambing hitam (scapegoat).

Namun demikian, jika kita masih percaya bahwa keberagaman warna dalam pelangi adalah sebuah keindahan, kitapun dapat meyakini bahwa keberagaman yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia adalah sebuah anugerah Tuhan yang harus bisa dinikmati oleh semua elemen masyarakat yang ada di Indonesia, sekalipun mereka berbeda dengan dengan kita.

Pada akhirnya, harus diakui bahwa proses integrasi nasional yang terjadi saat ini, masih diwarnai dengan berbagai tarik ulur kepentingan, baik yang bersifat primordial, ekonomis, maupun politis. Proses ini terus dan tengah berjalan sebagai bagian dari upaya manusia yang senantiasa mencari bentuk masyarakat yang ideal dan penuh keseimbangan atau equilibrium (Parsons, 1952). Sebagai sebuah masyarakat organik, ketidakseimbangan sekecil apapun bagian atau elemen dari sebuah struktur masyarakat, akan mempengaruhi sistem kemasyarakatan tersebut secara keseluruhan. Kuncinya adalah, kita harus belajar menerima kenyataan bahwa kita adalah bagian dari sebuah masyarakat yang sangat beragam. Jangan biarkan Indonesia terbelah.. dan pecah!

No comments:

Post a Comment