Saturday, July 13, 2013

MATAHARI TERBENAM SELALU LEBIH INDAH (SAAT RAMADHAN)



Keindahan matahari ketika terbenam tiada satu orangpun yang menyangkal. Untuk menikmatinya orang mau bersusah payah, baik mengeluarkan tenaga dengan mendaki puncak-puncak tertinggi, atau mengeluarkan uang cukup besar untuk menikmatinya dari resort atau pantai eksotis di seluruh penjuru dunia. Dan keindahan matahari tatkala terbenam, akan jauh lebih ditunggu dan indah bagi umat Islam pada saat Bulan Puasa. Ya.. matahari terbenam berarti tanda dari alam untuk mengakhiri tabu makan dan minum di siang hari. Saatnya berbuka...

Kegiatan berbukapun menjadi satu ritual yang bukan saja berdimensi keagamaan, tetapi juga dimensi sosial. Jika pada hari-hari biasa orang bisa makan malam dimanapun, kapanpun, dengan apapun, namun di Bulan Ramadhan, makan terasa hambar dan terasa kurang nikmat tanpa kehadiran orang-orang terdekat, terutama keluarga. Menjadi sebuah pemandangan yang wajar jika kemudian kemacetan merata di seluruh penjuru kota pada sore hari, semuanya berebut untuk bisa berada di meja makan rumah tepat pada waktunya untuk melakukan buka puasa bersama keluarga. Perjuangan puasapun semakin berat, bukan hanya menaklukkan efek biologis tubuh yang kehilangan cairan (dan juga konsentrasi), tetapi juga menaklukkan ego untuk tidak mengeluarkan sumpah serapah persembahan bagi pengguna jalan lainnya...

Berbuka puasa juga bukan lagi berbicara tentang gastronomi apalagi ala pengamat kuliner model Pak Bondan atau Om William Wongso. Sangat universal, relatif dan milik semua. Kenikmatan sepotong ikan asing belum tentu kalah dengan hamparan piring yang tersebar di meja rumah makan padang top. Teh manis hangat juga tak kalah nikmat dibandingkan dengan kolak campion yang beraneka jenis. Perjalanan spiritual disiang hari tentu juga akan mempengaruhi kualitas berbuka anda, bukan makanan berbuka anda.

Seumur hidup kita, tentu pernah mengalami berbagai macam cara dan materi makanan itu sendiri untuk berbuka. Mungkin ada yang pernah  berbuka dengan sekeping permen, bukan karena anda tidak mampu, tetapi karena anda dalam perjalanan dan tiada makanan apapun yang dapat anda pakai untuk membatalkan puasa, kecuali permen yang entah sudah berapa lama ada di dasboard mobil anda atau di kantong jaket barangkali. Pernahkah anda berbuka dengan satu botol air mineral dari pengasong di pinggir jalan karena anda gagal mencapai rumah pada saat magrib? Atau mungkin berbuka dengan kecap dan kerupuk, karena itulah rezeki kita hari ini. Atau anda punya pengalaman berbuka dalam jamuan makan yang agung karena host-nya adalah pejabat ternama? 

Secara pribadi, pengalaman berbuka di masa kecil tentu saja masih dipenuhi dengan fantasi indah berbagai makanan yang harus dikumpulkan dari pagi, mulai dari tukang sayur hingga pasar dadakan ramadhan. Mirip dengan mamalia yang mengumpulkan beragam makanan untuk bekal hibernasi. Masa kuliah, berbuka puasa adalah masa penuh kemerdekaan terutama saat masih menjadi junior dalam sebuah tempat makan berisi 2000-3000 orang yang makan yang jika kurang beruntung akan bertemu dengan senior yang iseng. Ketika sudah bekerja dan menjadi anak kos di belantara Jakarta, warung tegal adalah solusi irit untuk berbuka..

Dari semua pengalaman berbuka, satu yang selalu terkenang adalah berbuka bersama di Mesjid Istiqlal Jakarta. Kejadiannya mungkin sekitar tahun 2003an... Waktu itu saya kos di daerah Tomang dan bekerja di daerah Tanah Abang. Berbicara jarak, sebenarnya tidak terlalu jauh, dari kantor mungkin sekitar 3 kilometer. Tapi jalur ke Tomang memang merupakan pintu keluar orang dari pusat kota ke arah barat. Sore itu saya keluar kantor seperti biasa, jam 4 sore. Entah mengapa, lalu lintas pada saat itu sangat padat dan macet dimana-mana, muter-muter sampai melintasi Jalan Sudirman ke arah timur, masuk ke Merdeka Selatan, dan muter-muter sekitar Gambir. Kemana-mana macet, dan sangat tidak memungkinkan untuk berbuka puasa di rumah, eh di tempat kos. Di mobil tak ada sedikitpun makanan yang bisa dipakai untuk membatalkan puasa..

Sesaat lagi pasti adzan Magrib. Akhirnya mobil minibus ini diarahkan ke parkiran Masjid Istiqlal. Meski dekat, sejujurnya jarang saya sholat di mesjid yang konon terbesar di Asia Tenggara ini. Sekalinya ke istiqlal waktu itu, justru habis main bola sama teman-teman kantor dan mandi di mesjid buatan arsitek kristen Mr Silaban he3.... Setelah mengganti baju seragam kantor dengan kaos yang tergantung di mobil, saya ambil air wudhu. Celingak-celinguk, tampak orang-orang yang duduk membuat barisan yang berjajar rapi memanjang disepanjang koriodor dan lantai bawah istiqlal. Saya pun ikut mengambil tempat, mengikuti barisan yang sudah ada. Saya lepaskan pandangan menyapu kesemua barisan. Beragam orang, suku dan profesi tampaknya ada. Masih ada yang berseragam perusahaan taksi (pasti ini sopirnya...), potter Stasiun Gambir, pegawai negeri, tentara, mahasiswa, dan sebagainya pasti.  

Sementara itu, Kultum atau kuliah tujuh menit (saya tidak terlalu yakin itu tujuh menit, karena pembukaannya saja pasti lama... mungkin Kultum ini singkatan dari Kuliah Tujuh Belas Menit lebih) terdengar melalui pengeras suara. Di bagian bawah, petugas mesjid tampak membagikan makanan kepada mereka yang ada di barisan. Menunya lengkap.. teh hangat, permen, satu kotak nasi padang, kurma dan tak lupa sesisir pisang.. Sempurna. Ini lebih dari cukup.   Saya yakin, mereka yang berbuka puasa di Istiqlal sore ini pasti memiliki beragam  alasan, mungkin ada yang kepepet waktu, mungkin ada yang sengaja mencari pengalaman spiritual puasa di sini, bisa jadi mereka musafir, atau sengaja mencari buka puasa gratisan.

Apapun itu, berbuka puasa petang itu terasa nikmat. Mungkin karena capek setelah berkeliling mencari jalan pulang, mungkin juga ini pengalaman pertama saya berbuka secara kolosal. Mungkin juga karena buka puasa ini sangat berasa egaliter, tanpa sekat, tanpa kelas. Karena kita adalah orang-orang yang bernasib sama, berbuka tanpa keluarga. Namun yang pasti, saya merasa bahwa orang-orang yang berbuka di sekitar saya sangat merasa berbahagia dan menikmati hidangan ini. Kebahagaiaan yang mungkin dirasakan oleh mereka yang mendermakan rezekinya untuk berbuka puasa bagi jemaah di Istiqlal sore itu. Siapapun itu, saya ingin mengucapkan terima kasih...
Terlalu banyak pengalaman berbuka sepanjang hidup saya. Moment bersama keluarga adalah yang terindah dan selalu spesial, terlebih ketika dua malaikat kecil hadir dalam kehidupan kami. Namun pengalaman berbuka puasa di istiqlal tersebut selalu hadir setiap Ramadhan tiba. Selalu ingin kembali kesana, kalau bisa lengkap dengan sebelum keputusan untuk pindah kerja diambil... Allah maha besar. Semua karena kehendakMu.   

Ketika tulisan ini sampai di bagian akhir, cuaca mendung dan tak dapat menyaksikan sang surya terbenam di cakrawala. Tapi tetap saja, matahari terbenam di Bulan Ramadhan memang selalu terasa  lebih indah....

Bandung, 12072013 Ngabuburit depan komputer

No comments:

Post a Comment