Keindahan matahari ketika terbenam tiada satu orangpun yang
menyangkal. Untuk menikmatinya orang mau bersusah payah, baik mengeluarkan
tenaga dengan mendaki puncak-puncak tertinggi, atau mengeluarkan uang cukup
besar untuk menikmatinya dari resort atau pantai eksotis di seluruh penjuru
dunia. Dan keindahan matahari tatkala terbenam, akan jauh lebih ditunggu dan indah
bagi umat Islam pada saat Bulan Puasa. Ya.. matahari terbenam berarti tanda
dari alam untuk mengakhiri tabu makan dan minum di siang hari. Saatnya
berbuka...
Kegiatan berbukapun menjadi satu ritual yang bukan saja
berdimensi keagamaan, tetapi juga dimensi sosial. Jika pada hari-hari biasa
orang bisa makan malam dimanapun, kapanpun, dengan apapun, namun di Bulan Ramadhan,
makan terasa hambar dan terasa kurang nikmat tanpa kehadiran orang-orang
terdekat, terutama keluarga. Menjadi sebuah pemandangan yang wajar jika
kemudian kemacetan merata di seluruh penjuru kota pada sore hari, semuanya berebut
untuk bisa berada di meja makan rumah tepat pada waktunya untuk melakukan buka
puasa bersama keluarga. Perjuangan puasapun semakin berat, bukan hanya
menaklukkan efek biologis tubuh yang kehilangan cairan (dan juga konsentrasi),
tetapi juga menaklukkan ego untuk tidak mengeluarkan sumpah serapah persembahan
bagi pengguna jalan lainnya...
Berbuka puasa juga bukan lagi berbicara tentang gastronomi
apalagi ala pengamat kuliner model Pak Bondan atau Om William Wongso. Sangat
universal, relatif dan milik semua. Kenikmatan sepotong ikan asing belum tentu
kalah dengan hamparan piring yang tersebar di meja rumah makan padang top. Teh
manis hangat juga tak kalah nikmat dibandingkan dengan kolak campion yang
beraneka jenis. Perjalanan spiritual disiang hari tentu juga akan mempengaruhi
kualitas berbuka anda, bukan makanan berbuka anda.
Seumur hidup kita, tentu pernah mengalami berbagai macam cara
dan materi makanan itu sendiri untuk berbuka. Mungkin ada yang pernah berbuka dengan sekeping permen, bukan karena
anda tidak mampu, tetapi karena anda dalam perjalanan dan tiada makanan apapun
yang dapat anda pakai untuk membatalkan puasa, kecuali permen yang entah sudah
berapa lama ada di dasboard mobil anda atau di kantong jaket barangkali.
Pernahkah anda berbuka dengan satu botol air mineral dari pengasong di pinggir
jalan karena anda gagal mencapai rumah pada saat magrib? Atau mungkin berbuka
dengan kecap dan kerupuk, karena itulah rezeki kita hari ini. Atau anda punya
pengalaman berbuka dalam jamuan makan yang agung karena host-nya adalah pejabat ternama?
Secara pribadi, pengalaman berbuka di masa kecil tentu saja
masih dipenuhi dengan fantasi indah berbagai makanan yang harus dikumpulkan
dari pagi, mulai dari tukang sayur hingga pasar dadakan ramadhan. Mirip dengan
mamalia yang mengumpulkan beragam makanan untuk bekal hibernasi. Masa kuliah,
berbuka puasa adalah masa penuh kemerdekaan terutama saat masih menjadi junior
dalam sebuah tempat makan berisi 2000-3000 orang yang makan yang jika kurang
beruntung akan bertemu dengan senior yang iseng. Ketika sudah bekerja dan
menjadi anak kos di belantara Jakarta, warung tegal adalah solusi irit untuk
berbuka..
Dari semua pengalaman berbuka, satu yang selalu terkenang
adalah berbuka bersama di Mesjid Istiqlal Jakarta. Kejadiannya mungkin sekitar
tahun 2003an... Waktu itu saya kos di daerah Tomang dan bekerja di daerah Tanah
Abang. Berbicara jarak, sebenarnya tidak terlalu jauh, dari kantor mungkin
sekitar 3 kilometer. Tapi jalur ke Tomang memang merupakan pintu keluar orang
dari pusat kota ke arah barat. Sore itu saya keluar kantor seperti biasa, jam 4
sore. Entah mengapa, lalu lintas pada saat itu sangat padat dan macet
dimana-mana, muter-muter sampai melintasi Jalan Sudirman ke arah timur, masuk
ke Merdeka Selatan, dan muter-muter sekitar Gambir. Kemana-mana macet, dan
sangat tidak memungkinkan untuk berbuka puasa di rumah, eh di tempat kos. Di
mobil tak ada sedikitpun makanan yang bisa dipakai untuk membatalkan puasa..
Sesaat lagi pasti adzan Magrib. Akhirnya mobil minibus ini diarahkan
ke parkiran Masjid Istiqlal. Meski dekat, sejujurnya jarang saya sholat di
mesjid yang konon terbesar di Asia Tenggara ini. Sekalinya ke istiqlal waktu
itu, justru habis main bola sama teman-teman kantor dan mandi di mesjid buatan
arsitek kristen Mr Silaban he3.... Setelah mengganti baju seragam kantor dengan
kaos yang tergantung di mobil, saya ambil air wudhu. Celingak-celinguk, tampak
orang-orang yang duduk membuat barisan yang berjajar rapi memanjang disepanjang
koriodor dan lantai bawah istiqlal. Saya pun ikut mengambil tempat, mengikuti
barisan yang sudah ada. Saya lepaskan pandangan menyapu kesemua barisan.
Beragam orang, suku dan profesi tampaknya ada. Masih ada yang berseragam
perusahaan taksi (pasti ini sopirnya...), potter
Stasiun Gambir, pegawai negeri, tentara, mahasiswa, dan sebagainya pasti.
Sementara itu, Kultum atau kuliah tujuh menit (saya tidak
terlalu yakin itu tujuh menit, karena pembukaannya saja pasti lama... mungkin
Kultum ini singkatan dari Kuliah Tujuh Belas Menit lebih) terdengar melalui
pengeras suara. Di bagian bawah, petugas mesjid tampak membagikan makanan
kepada mereka yang ada di barisan. Menunya lengkap.. teh hangat, permen, satu
kotak nasi padang, kurma dan tak lupa sesisir pisang.. Sempurna. Ini lebih dari
cukup. Saya yakin, mereka yang berbuka puasa di Istiqlal
sore ini pasti memiliki beragam alasan,
mungkin ada yang kepepet waktu, mungkin ada yang sengaja mencari pengalaman
spiritual puasa di sini, bisa jadi mereka musafir, atau sengaja mencari buka
puasa gratisan.
Apapun itu, berbuka puasa petang itu terasa nikmat. Mungkin
karena capek setelah berkeliling mencari jalan pulang, mungkin juga ini
pengalaman pertama saya berbuka secara kolosal. Mungkin juga karena buka puasa
ini sangat berasa egaliter, tanpa sekat, tanpa kelas. Karena kita adalah
orang-orang yang bernasib sama, berbuka tanpa keluarga. Namun yang pasti, saya
merasa bahwa orang-orang yang berbuka di sekitar saya sangat merasa berbahagia
dan menikmati hidangan ini. Kebahagaiaan yang mungkin dirasakan oleh mereka
yang mendermakan rezekinya untuk berbuka puasa bagi jemaah di Istiqlal sore
itu. Siapapun itu, saya ingin mengucapkan terima kasih...
Terlalu banyak pengalaman berbuka sepanjang hidup saya.
Moment bersama keluarga adalah yang terindah dan selalu spesial, terlebih
ketika dua malaikat kecil hadir dalam kehidupan kami. Namun pengalaman berbuka
puasa di istiqlal tersebut selalu hadir setiap Ramadhan tiba. Selalu ingin
kembali kesana, kalau bisa lengkap dengan sebelum keputusan untuk pindah kerja diambil...
Allah maha besar. Semua karena kehendakMu.
Ketika tulisan ini sampai di bagian akhir, cuaca mendung dan tak dapat menyaksikan sang surya terbenam di cakrawala. Tapi tetap saja, matahari terbenam di Bulan Ramadhan memang selalu terasa lebih
indah....
Bandung, 12072013 Ngabuburit
depan komputer
No comments:
Post a Comment