Monday, August 5, 2013

AGEN



Saya dan istri saya pernah terkagum-kagum dengan kesuksesan yang diraih oleh istri atasan istri saya, sebut saja namanya Bu M. Sukses yang terlihat dimata kami adalah gemerlap kekayaan dan materi yang dimiliki oleh Bu M, dan kami sepakat mengambil kesimpulan bahwa kekayaan itu (tanpa mengurangi rasa hormat kepada suaminya) adalah sebagian besar memang hasil dari usaha Bu M. Mobil keluaran terbaru yang cukup mewah untuk ukuran pe-en-es, jumlahnya pun lebih dari satu. Rumah dan berbagai tampilan materi lainnya. Berawal dari tawaran yang gencar untuk membeli produk asuransi investasi, akhirnya kami tahu bahwa itu adalah satu pekerjaan yang disebut sebagai agen asuransi. Secara garis besar, sebenarnya itu adalah pekerjaan menjual produk asuransi. Dan dari setiap produk yang sukses dibeli oleh klien (mereka biasanya menyebutnya sebagai prospek) tentu saja mereka akan mendapat fee atau prosentase tertentu dari perusahaan, dan tentu saja bonus yang luar biasa dari perusahaan asuransi mereka jika mampu melewati target yang sudah ditentukan.
Singkat kata istri tertarik untuk mengikuti jejak istri bos tersebut menjadi agen asuransi, tentu saja atas referensi Bu M dan sudah barang tentu  menjadi downline-nya. Setelah mengikuti training singkat, istri saya akhirnya resmi mempunyai status dan peran sebagai seorang agen asuransi.  Target tidak jauh-jauh, tetangga satu komplek yang kelihatan mapan. No pain no gain. Perlu usaha keras untuk bisa closing dengan sukses sekedar satu prospek saja. Menelepon setiap ada kesempatan sekedar minta jadual presentasi, konfirmasi dan dengan semangat 45 mengirimkan emosi menjual yang ternyata kalau difikir-fikir sangat melelahkan, tidak membuat nyaman bagi kita (apalagi untuk prospek), dan yang paling tidak enak adalah munculnya perasaan berdosa karena dari inventasi (asuransi) yang ditanamkan, sebagian ternyata mengalir kepada rekening kita sebagai bagain dari fee atau bonus marketing kita. Meskipun itu legal, perasaan telah mendzalimi kok selalu muncul.... dan ahirnya istri saya melepaskan mimpi menjadi kaya karena gagal mengikuti jejak Bu M.

Sayapun pernah memutuskan untuk mencari peluang usaha dengan mendalami cara kerja agen properti. Tentu saja dari berselancar di internet.  Berawal dari pengalaman menjual rumah dan menggunakan jasa agen properti, ternyata hitung punya hitung, fee yang mereka dapatkan sangat menggiurkan. Dua sampai tiga persen dari nilai transaksi bukan jumlah yang kecil jika melihat harga jual rumah di perkotaan saat ini. Saya sampai tertawa melihat satu rumah yang akan dijual di daerah Setiabudi Bandung dan dipagarnya terpasang banyak spanduk dengan tulisan dijual, nama kantor properti, nama sang agen dan tentu saja nomor telefon mereka. Mirip pagar kantor dewan kala diserbu demonstran atau pagar tribun stadion kala pertandingan Liga Indonesia. Sudah barang tentu ini prospek kelas kakap, jika bisa sukses atau closing, tentu saja bisa dihitung sendiri uang yang akan didapatkan oleh oleh sang agen dari  nilai rumah yang menurut taksiran saya pasti bernilai miliaran. Tiga persennya.... hitung saja sendiri ya...

Tapi respek dan keinginan saya runtuh begitu pengalaman saya ketika menginginkan rumah saya terjual dengan cepat, dan agen yang telah saya tunjuk secara eksklusif ternyata tidak melakukan apa-apa, iklan di media cetak dan internet tidak ada, papan atau spanduk juga tak muncul. Sementara jika rumah ini laku, sang agen tetap akan  mendapatkan  fee sebagaimana tertuang dalam perjanjian. Eksklusif katanya. Dan rasanya kok enak banget, kita yang cape-cape pasang iklan, negosiasi dengan calon pembeli, kok dia hanya bermodalkan selembar kertas perjanjian dan ongkang-ongkang kaki bisa mendapatkan uang jutaan rupiah..   
Respek saya juga berubah menjadi minus ketika ternyata mereka tidak sekedar berupaya mendapatkan dari fee penjualan. Tetapi juga memanfaatkan pembeli yang membutuhkan jasa leasing atau kredit bank dengan menjadi perantara antara calon pembeli (sekaligus calon debitur) dengan pihak bank (lebih tepatnya assesor). Di sini sang agen akan meminta dan mendapatkan fee lagi. Tak puas sampai disitu, agen akan mengintimidasi penjual bahwa dia lah yang bisa menentukan transaksi ini bisa sukses atau tidak, untuk itu dia akan minta jasa atau fee lagi kepada penjual. Lagi-lagi, perilaku agent yang ditunjukkan lebih banyak mengirimkan emosi penjualan yang sangat intimidatif dan memanfaatkan kelemahan kita untuk mengikuti aturan main dan keinginannya. Kita dibuat tidak berdaya. Damn!!

Dari situ saya merasa bahwa menjadi agen baik properti dan asuransi harus dicoret dari target pribadi saya. Meski saya tahu bahwa jalan mendapatkan keuntungan dan kejayaan cukup besar dari situ. Terlalu mahal rasanya mengorbankan rasa nyaman dan menukarnya dengan perasaan berdosa kepada prospek yang belum tentu ikhlas melepaskan uangnya untuk produk jasa yang kita tawarkan. Kesimpulan saya, menjadi sales itu memang harus gigih, dan kejam atau tega-an... yang penting target tercapai, produk kita terjual. Di point ini saya merasa tidak memiliki cukup ability.

Sampai pada akhirnya saya menemukan bahwa ternyata menjadi agen atau sales seharusnya tidak seperti itu. Hal itu saya dapatkan dari buku kecil bersampul merah menyala dengan gambar kecap dan bertajuk Ketjap Nomor Doea. Intinya, agen-agen yang selama ini banyak berhubungan dan menghubungi saya ternyata berada dalam jalan yang sesat karena belajar teknik menjual dari jalan hitam: mengintimidasi prospek sampai bertekuk lutut. Menghubungi tanpa kenal lelah lewat telefon pada jam kerja dan jam istirahat, maksa minta waktu presentasi, kirim sms dan broadcast tanpa kenal waktu.  Padahal dari buku ini saya mendapatkan, bahwa seharusnya seorang agen haruslah berangkat dari keihklasan keinginan membantu, membantu kebutuhan dan permasalahan klien atau prospek itu yang terpenting. Soal mau beli atau tidak itu urusan nanti. Ilmu ikhlas intinya, (dan saya memutuskan untuk membaca buku Quantum Iklas karya Erbe Sentanu).

Di dunia yang pernah saya tekuni di pelayanan publik, sempat muncul pameo kalau bisa dipersulit kenapa harus dipemudah, alau bisa diperlama kenapa harus dipercepat. Ini soal budaya atau kultur. Yang terlanjur melekat dan diwariskan dari penjajahan Belanda dulu. Belanda dulu menjadikan para pejabat kerajaan lokal sebagai birokrat, tentu saja bisa ditebak hasilnya, budaya feodalisme (konsep feodalisme di kita sebenarnya berbeda dengan feodalisme Eropa) yang kental dengan dilayani dan dihormati ketimbang melayani.... Jarang sekali bukan kita mendapatkan sapaan sederhana ini di kantor pemerintah : Apa yang bisa saya bantu?  Tapi tentu saja itu sudah berlalu, saya berharap bahwa itu sudah berubah di republik tercinta ini.

Nun disebuah negeri yang jauh, jangankan untuk melayani masyarakat, kepada sesama abdi negara saja pameo yang muncul adalah “homo homini lupus”. Sekelompok srigala dengan kekuasannya yang luar biasa, taring-taringnya akan menggiring sekawanan domba tanpa kuasa hingga tersudut. Ketika mangsanya lemah, serigala cokelat tersebut berlaku bak Tuhan dengan kuasa untuk mengirim mangsanya ke neraka atau melepaskannya kembali ke dunia. Tentu saja tidak ada makan siang yang gratis, setelah dihantam dan dilemahkan, serigala akan memunculkan topeng dewi Kwan Im-nya dengan imbalan tumpukan tebal rupiah atas jasa “kebaikan” dan “bantuannya dalam menyelesaikan masalah” tersebut. Tak ada keikhlasan dinegeri bedebah tersebut, yang ada adalah praktek transaksional. Sama seperti agen-agen yang ada di negeri nyata yang pernah saya temui..  

Untungnya saya hidup di negera Republik Indonesia tercinta, bukan di negeri penuh agen serigala cokelat bedebah. Alhamdulillah....

Ini hanya Ketjap Nomor Tiga........
Salam.

Bandung,  05082013.

No comments:

Post a Comment