Saya dan istri saya pernah terkagum-kagum dengan kesuksesan
yang diraih oleh istri atasan istri saya, sebut saja namanya Bu M. Sukses yang
terlihat dimata kami adalah gemerlap kekayaan dan materi yang dimiliki oleh Bu
M, dan kami sepakat mengambil kesimpulan bahwa kekayaan itu (tanpa mengurangi
rasa hormat kepada suaminya) adalah sebagian besar memang hasil dari usaha Bu
M. Mobil keluaran terbaru yang cukup mewah untuk ukuran pe-en-es, jumlahnya pun
lebih dari satu. Rumah dan berbagai tampilan materi lainnya. Berawal dari
tawaran yang gencar untuk membeli produk asuransi investasi, akhirnya kami tahu
bahwa itu adalah satu pekerjaan yang disebut sebagai agen asuransi. Secara
garis besar, sebenarnya itu adalah pekerjaan menjual produk asuransi. Dan dari setiap
produk yang sukses dibeli oleh klien (mereka biasanya menyebutnya sebagai
prospek) tentu saja mereka akan mendapat fee atau prosentase tertentu dari
perusahaan, dan tentu saja bonus yang luar biasa dari perusahaan asuransi
mereka jika mampu melewati target yang sudah ditentukan.
Singkat kata istri tertarik untuk mengikuti jejak istri bos
tersebut menjadi agen asuransi, tentu saja atas referensi Bu M dan sudah barang
tentu menjadi downline-nya. Setelah
mengikuti training singkat, istri saya akhirnya resmi mempunyai status dan
peran sebagai seorang agen asuransi. Target
tidak jauh-jauh, tetangga satu komplek yang kelihatan mapan. No pain no gain. Perlu usaha keras untuk
bisa closing dengan sukses sekedar
satu prospek saja. Menelepon setiap ada kesempatan sekedar minta jadual
presentasi, konfirmasi dan dengan semangat 45 mengirimkan emosi menjual yang
ternyata kalau difikir-fikir sangat melelahkan, tidak membuat nyaman bagi kita
(apalagi untuk prospek), dan yang paling tidak enak adalah munculnya perasaan
berdosa karena dari inventasi (asuransi) yang ditanamkan, sebagian ternyata
mengalir kepada rekening kita sebagai bagain dari fee atau bonus marketing kita.
Meskipun itu legal, perasaan telah mendzalimi kok selalu muncul.... dan ahirnya
istri saya melepaskan mimpi menjadi kaya karena gagal mengikuti jejak Bu M.
Sayapun pernah memutuskan untuk mencari peluang usaha dengan
mendalami cara kerja agen properti. Tentu saja dari berselancar di internet. Berawal dari pengalaman menjual rumah dan
menggunakan jasa agen properti, ternyata hitung punya hitung, fee yang mereka
dapatkan sangat menggiurkan. Dua sampai tiga persen dari nilai transaksi bukan
jumlah yang kecil jika melihat harga jual rumah di perkotaan saat ini. Saya
sampai tertawa melihat satu rumah yang akan dijual di daerah Setiabudi Bandung
dan dipagarnya terpasang banyak spanduk dengan tulisan dijual, nama kantor properti,
nama sang agen dan tentu saja nomor telefon mereka. Mirip pagar kantor dewan
kala diserbu demonstran atau pagar tribun stadion kala pertandingan Liga
Indonesia. Sudah barang tentu ini prospek kelas kakap, jika bisa sukses atau
closing, tentu saja bisa dihitung sendiri uang yang akan didapatkan oleh oleh
sang agen dari nilai rumah yang menurut
taksiran saya pasti bernilai miliaran. Tiga persennya.... hitung saja sendiri
ya...
Tapi respek dan keinginan saya runtuh begitu pengalaman saya
ketika menginginkan rumah saya terjual dengan cepat, dan agen yang telah saya
tunjuk secara eksklusif ternyata tidak melakukan apa-apa, iklan di media cetak
dan internet tidak ada, papan atau spanduk juga tak muncul. Sementara jika
rumah ini laku, sang agen tetap akan mendapatkan fee sebagaimana tertuang dalam perjanjian.
Eksklusif katanya. Dan rasanya kok enak banget, kita yang cape-cape pasang
iklan, negosiasi dengan calon pembeli, kok dia hanya bermodalkan selembar
kertas perjanjian dan ongkang-ongkang kaki bisa mendapatkan uang jutaan
rupiah..
Respek saya juga berubah menjadi minus ketika ternyata mereka
tidak sekedar berupaya mendapatkan dari fee penjualan. Tetapi juga memanfaatkan
pembeli yang membutuhkan jasa leasing atau kredit bank dengan menjadi perantara
antara calon pembeli (sekaligus calon debitur) dengan pihak bank (lebih tepatnya
assesor). Di sini sang agen akan meminta dan mendapatkan fee lagi. Tak puas sampai
disitu, agen akan mengintimidasi penjual bahwa dia lah yang bisa menentukan
transaksi ini bisa sukses atau tidak, untuk itu dia akan minta jasa atau fee
lagi kepada penjual. Lagi-lagi, perilaku agent yang ditunjukkan lebih banyak
mengirimkan emosi penjualan yang sangat intimidatif dan memanfaatkan kelemahan
kita untuk mengikuti aturan main dan keinginannya. Kita dibuat tidak berdaya.
Damn!!
Dari situ saya merasa bahwa menjadi agen baik properti dan
asuransi harus dicoret dari target pribadi saya. Meski saya tahu bahwa jalan
mendapatkan keuntungan dan kejayaan cukup besar dari situ. Terlalu mahal
rasanya mengorbankan rasa nyaman dan menukarnya dengan perasaan berdosa kepada
prospek yang belum tentu ikhlas melepaskan uangnya untuk produk jasa yang kita
tawarkan. Kesimpulan saya, menjadi sales itu memang harus gigih, dan kejam atau
tega-an... yang penting target tercapai, produk kita terjual. Di point ini saya
merasa tidak memiliki cukup ability.
Sampai pada akhirnya saya menemukan bahwa ternyata menjadi agen
atau sales seharusnya tidak seperti itu. Hal itu saya dapatkan dari buku kecil
bersampul merah menyala dengan gambar kecap dan bertajuk Ketjap Nomor Doea.
Intinya, agen-agen yang selama ini banyak berhubungan dan menghubungi saya
ternyata berada dalam jalan yang sesat karena belajar teknik menjual dari jalan
hitam: mengintimidasi prospek sampai bertekuk lutut. Menghubungi tanpa kenal
lelah lewat telefon pada jam kerja dan jam istirahat, maksa minta waktu
presentasi, kirim sms dan broadcast tanpa kenal waktu. Padahal dari buku ini saya mendapatkan, bahwa seharusnya
seorang agen haruslah berangkat dari keihklasan keinginan membantu, membantu
kebutuhan dan permasalahan klien atau prospek itu yang terpenting. Soal mau
beli atau tidak itu urusan nanti. Ilmu ikhlas intinya, (dan saya memutuskan untuk
membaca buku Quantum Iklas karya Erbe Sentanu).
Di dunia yang pernah saya tekuni di pelayanan publik, sempat
muncul pameo kalau bisa dipersulit kenapa harus dipemudah, alau bisa diperlama
kenapa harus dipercepat. Ini soal budaya atau kultur. Yang terlanjur melekat
dan diwariskan dari penjajahan Belanda dulu. Belanda dulu menjadikan para
pejabat kerajaan lokal sebagai birokrat, tentu saja bisa ditebak hasilnya,
budaya feodalisme (konsep feodalisme di kita sebenarnya berbeda dengan
feodalisme Eropa) yang kental dengan dilayani dan dihormati ketimbang
melayani.... Jarang sekali bukan kita mendapatkan sapaan sederhana ini di kantor
pemerintah : Apa yang bisa saya bantu? Tapi tentu saja itu sudah berlalu, saya
berharap bahwa itu sudah berubah di republik tercinta ini.
Nun disebuah negeri yang jauh, jangankan untuk melayani
masyarakat, kepada sesama abdi negara saja pameo yang muncul adalah “homo
homini lupus”. Sekelompok srigala dengan kekuasannya yang luar biasa,
taring-taringnya akan menggiring sekawanan domba tanpa kuasa hingga tersudut.
Ketika mangsanya lemah, serigala cokelat tersebut berlaku bak Tuhan dengan
kuasa untuk mengirim mangsanya ke neraka atau melepaskannya kembali ke dunia.
Tentu saja tidak ada makan siang yang gratis, setelah dihantam dan dilemahkan,
serigala akan memunculkan topeng dewi Kwan Im-nya dengan imbalan tumpukan tebal
rupiah atas jasa “kebaikan” dan “bantuannya dalam menyelesaikan masalah”
tersebut. Tak ada keikhlasan dinegeri bedebah tersebut, yang ada adalah praktek
transaksional. Sama seperti agen-agen yang ada di negeri nyata yang pernah saya
temui..
Untungnya saya hidup di negera Republik Indonesia tercinta,
bukan di negeri penuh agen serigala cokelat bedebah. Alhamdulillah....
Ini hanya Ketjap Nomor Tiga........
Salam.
Bandung, 05082013.
No comments:
Post a Comment