Surat Pernyataan Tanda Buktidiri atau SPTB adalah
sebuah format isian yang pada dasarnya merupakan pernyataan dari para penerima
pensiun, baik pensiun bagi dirinya sendirinya maupun pensiun janda/duda. Setiap
tahun mereka harus mengisi dan menyerahkan formulir ini kepada provider
penyelenggara dana pensiun bagi pegawai negeri, baik sipil maupun militer,
seperti PT. Taspen atau Asabri. Intinya, SPTB merupakan alat bukti bahwa mereka masih
hidup dan masih berhak menerima pensiun. Karena ada hal-hal tertentu yang bsia
menggugurkan hak mereka sebagai penerima pensiun, seperti tentu saja kalau yang
bersangkutan atau suami/istrinya sudah meninggal dunia atau jika pensiun
janda/duda, hak tersebut akan gugur jika mereka sudah menikah lagi. Begitupun
jika ahli waris, terutama anak-anaknya, sudah tidak berhak masuk tanggungan, karena sudah bekerja atau sudah menikah misalnya.
Lembaran yang berukuran kertas kwarto atau A4 ini,
selain berisi data diri penerima pensiun juga data nama-nama mereka yang masih
masuk tanggungan, seperti suami/istri dan anak-anaknya yang belum dewasa (dan
seperti kebijakan pada PNS aktif, biasanya dibatasi hingga dua anak saja).
Selain itu, di bagian bawah kiri juga
terdapat dua orang saksi yang biasanya sudah ditentukan saksi tersebut
adalah pejabat RT dan RW steempat. Kemudian
sejajar dengan register RT dan RW, disebelah kanannya terdapat pengesahan dari
pejabat Kelurahan atau Desa. Diantara kolom saksi dan Lurah/Kepala Desa,
terdapat pas foto yang bersangkutan
berukuran 4x6. Posisi foto yang berada diantara tanda tangan dan stempel
jabatan tersebut, seringkali menjadikan wajah yang ada dalam pas foto sebagai
korban dari kesewenang-wenangan stempel yang kadang nyasar ke wajah pemohon....
oh my goodness!
Pencantuman RT dan RW sebagai saksi menurut saya merupakan
penerapan prinsip birokrasi ala Max Weber dalam pembagian kerja dan kewenangan. Bisa dipahami
karena pihak kelurahan apalagi provider tidak mungkin hafal warganya satu
persatu, secara berjenjang pola ini akan menjadi satu mata rantai tanggung
jawab, artinya bisa terjadi data yang salah (sengaja disalahkan) dan
menyebabkan kerugian keuangan negara, tentu saja mereka yang menandatangani
harus siap-siap menerima pasal turut serta, meski mungkin kesalahan tersebut
lebih karena tidak tahu menahu atau ketidaksengajaan. Jika di tingkat RT atau
RW, penandatangan tidak terlalu dipermasalahkan, selama ada stempel organisasi,
maka di tingkat Kelurahan biasanya penandatangan harus selalu Lurah atau Kepala
Desa, aturan yang menurut saya sangat merepotkan dan seperti tidak faham tata
acara organisasi, karena selama yang bertandatangan memiliki kewenangan atau
sudah didelegasikan dan ada legalisasi melalui stempel, itu adalah pengesahan
yang normal dan legal.
Yang terjadi kemudian, adalah antrian warga yang
sebagian besar berusia lanjut di kantor-kantor Kelurahan pada awal-awal tahun,
atau paling tidak berkas-berkas yang menumpuk di meja Kepala Kelurahan/Desa.
Banyaknya kegiatan Lurah/Kepala Desa di luar kantor terkadang menyebabkan antrian warna di ruang
pelayanan¸ yang kebanyakan jauh dari
standar minimal pelayanan: panas, sumpek, kursi yang keras, petugas yang lebih
mirip polisi di film India, kondisi tersebut tak pelak seringkali diwarnai
sumpah serapah, gerutuan, bahkan makian.
Bercampur dengan batuk-batuk dari tubuh-tubuh renta.....
Suatu masa dulu, saya pernah mendapatkan kesempatan
menandatangani surat-surat tersebut selama empat tahun. Dengan perasaan yang
campuk aduk. Saya seringkali memandangi foto-foto yang ada di tengah-tengah
formulir, membayangkan kegagahan mereka ketika mereka masih bertugas. Seingat
saya dulu ada yang bekas profesor, wakil gubernur, walikota, pangdam dan beragam
jabatan lainnya. Tentu mudah membedakan mana yang dulunya berpangkat dan yang
tidak, setidaknya kalau datang sendiri dan mau ngantri tentu saja dapat ditebak
di kelas mana dulu mereka dulu berkarya. Nah, kalau suratnya yang nganterin
adalah supir kerabat atau ajudannya (sudah pensiun masih punya ajudan? keren..) dapat dipastikan
beliau–beliau ini adalah pejabat tinggi dulunya. Satu lagi.... terkadang suka
lupa melengkapi dengan surat pengantar RT/RW.... ha3..
Perasaan lainnya adalah respek dan kekaguman saya
bercampur iri dengan mereka yang sudah mampu menyelesaikan tugasnya secara
paripurna. Siapapun mereka, apapun jabatannya. Saya selalu mengucapkan selamat
sudah berhasil melewati satu fase kehidupan kariernya. Sukses telah melewati
rimba kehidupan aparatur negara di negara yang terlalu sering disebut dan
menjadi olok-olok di seminar sebagai negara dengan penyakit birokrasi akut
ketimbang prestasi positifnya. Rimba yang penuh dengan berbagai macam jebakan,
tipu daya, sikut-sikutan, konspirasi, dan tentu saja penuh dengan karnivor yang
haus darah. Jikapun mereka dulunya adalah karnivor, mereka telah sukses dan berhasil lulus
dan luput dari terkaman predator.
Hormat dan respek saya untuk yang masih bertahan di
rimba raya dan mereka yang berhasil melewatinya.
No comments:
Post a Comment