Akhir-akhir ini atmosfir Kota Bandung terasa menghangat, bukan hanya karena
musim kemarau mulai datang atau efek dari pemanasan global (global warming), tetapi karena aktivitas
pemanasan (warming up) dari
pihak-pihak yang akan maju dalam arena pertandingan Pemilihan Umum Walikota dan
Wakil Walikota Bandung tanggal 11
Agustus 2008. Salah satu bentuk pemanasan dari mereka yang akan maju dalam
Pilwalkot tersebut adalah mulai bertebarannya poster-poster bergambar diri sang
(bakal) calon kontestan, tentu saja terpasang di lokasi-lokasi strategis hingga
sudut-sudut kota.
Ini adalah rumus umum dalam aktivitas demokrasi di Indonesia menjelang
hajatan politik bukan hanya dalam proses pemilihan presiden, anggota legislatif
(Pusat maupun daerah), pemilihan kepala daerah, hingga pemilihan kepala desa
bahkan pemilihan Ketua RT! Format yang digunakan dapat dikatakan seragam, hanya
kemasan dan kualitas gambar yang membedakan, semakin tinggi derajat hajatan
tersebut, tentu saja semakin bagus dan berkualitas gambar yang dibuat.
Jika ditingkat RT atau kepala desa, cukup menggunting atau meng-cropping foto yang sudah ada dan
kemudian digandakan dengan teknik fotokopi, di level yang lebih tinggi foto
yang dipergunakan tentu saja merupakan hasil jepretan fotografer profesional
dan diedit oleh ahli komputer grafis yang hade
pula. Perkembangan teknologi saat ini, terutama teknologi cetak digital benar-benar dimanfaatkan oleh para kontestan
secara optimal.
Ditangan para profesional ini, para kontestan berharap dapat menampilkan
potret diri yang secara fisik dapat terlihat good looking dan angle
yang bagus yang dapat merepresentasikan citra dan kepribadian positif. Oleh
karena itu, jangan berharap akan terpasang poster kontestan yang sedang baeut,
manyun apalagi sedang marah-marah,
karena masyarakat akan langsung memberikan stigma negatif terhadap kesan yang
ditampilkan tersebut.
Yang paling jamak ditemui adalah wajah-wajah sumringah, dengan senyum yang
semanis mungkin dan semirip mungkin dengan iklan pasta gigi.... Di dunia
fotografi kita kenal istilah fotogenik, atau orang yang mempunyai daya tarik
tersendiri di depan kamera karena pose-pose yang ditampilkan senantiasa memikat
dan tampak cantik atau tampan. Maka berlomba-lombalah menjadi orang paling
fotogenik diseantero kota....
Ironi Negara Demokrasi
Fenomena pamer foto ini mungkin bukan fenomena khas yang hanya ada di
Indonesia tetapi juga jamak ditemui di negara-negara demokrasi lainnya di
dunia. Tetapi dengan proses pemilihan colok
foto, para kontestan merasa perlu untuk mempengaruhi memori para pemilih dengan
tebaran foto-foto sedini mungkin, jauh-jauh hari, bahkan ketika Komisi
Pemilihan Umum (KPU) belum mencetak formulir pendaftaran calon.
Dalam format pemilihan kepala daerah saat ini, salah satu pihak yang paling
memungkinkan untuk ”promosi” lebih awal, tentu saja para incumbent. Dengan dukungan sumber daya dan otoritas yang dimiliki, para incumbent dengan sangat leluasa menyelipkan foto diri mereka dalam
setiap poster pembangunan, iklan layanan masyarakat, poster kegiatan sosial,
olah raga maupun keagamaan, kartu lebaran sampai kalender instansi pemerintah.
Di satu sisi, dengan intensitas tatap muka maupun kemunculan di media massa
yang jauh lebih sering dibandingkan dengan calon lainnya, tebaran foto diri
tersebut tentu saja merupakan sebuah ironi ketidakpercayaan akan sebuah popularitas
yang seharusnya terbangun dalam rentang masa jabatan yang dimiliki sebelumnya.
Kebutuhan untuk mensosialisasikan gambar diri, juga menunjukkan sebuah
ketidakpercayaan pada angka statistik yang memperlihatkan semakin kecilnya
prosentase orang yang buta huruf.
Dengan predikat sebagai negara demokrasi ketiga di dunia setelah Amerika
Serikat dan India, budaya demokrasi kita ternyata baru berada dalam fase
pencitraan secara fisik. Mengacu pada proses pemilihan presiden Amerika saat
ini, citra Barrack Obama tidak muncul dari sisi fisik (yang justru menjadi
titik lemah dimata kompetitornya), tetapi citra yang dimunculkan adalah
kemampuan diri Obama untuk membuat perubahan bagi masyarakat Amerika Serikat
yang dirasakan banyak mengalami kemandegan
dibawah kepemimpinan George W. Bush. Tag
line kampanye Obama ”Yes We Can”
jauh lebih dominan mewarnai setiap kampanyenya ketimbang foto diri Obama. Ini
bukan masalah handsome atau tidak handsome, tetapi karena mayoritas
masyarakat pemilih Amerika sudah lebih mengedepankan rasionalitas daripada
ikatan emosial maupun primordialitas semata.
Predikat negara demokrasi ketiga di dunia sepertinya hanya melihat
demokrasi di Indonesia dengan indikator partisipasi (diukur dari persentase
partisipasi dalam pemilu) dan kompetisi
(persentase partai terbesar dalam pemilu) sebagaimana dikemukakan oleh Tatu
Vanhanen (Iwan Gardono Sujatmiko, 2002). Diakui atau tidak, proses menuju
pendewasaan politik pemilih kita saat ini, masih menemui jalan terjal karena
elit-elit politik yang seharusnya bisa menjadi patron bagi para pemilih,
ternyata lebih menyukai cara-cara instan dalam proses berpolitik. Politik
pencitraan jauh lebih memikat untuk dinikmati karena lebih menawarkan aroma
selebritas, ketimbang memberikan pencerahan kepada rakyat, tentang apa yang
seharusnya menjadi hak dan kewajiban politik masyarakat sebagai warga negara
dalam setiap kampanyenya.
Akhirnya, sudut-sudat jalan strategis maupun baliho-baliho iklan yang
seharusnya menjadi sumber potensial bagi pendapat asli daerah (PAD) menjadi
media yang sangat potensial bagi kampanye para calon kepala daerah (dalam
posisi incumbent) yang justru rawan
menyedot anggaran keuangan daerah. Luna Maya yang menjadi duta iklan bagi
beberapa produk-pun mendapatkan pesaing tangguh. Sungguh ironi negeri demokrasi
yang masih dipenuhi politik fotogenik. Satu, dua, tiga,... cheezz!
Tulisan 5 tahun yang lalu Kompas,
Forum, Jumat – 11 Juli 2008
No comments:
Post a Comment