Sunday, June 30, 2013

The INTERVIEW (Wawancara Imajiner dengan Orang Gak Penting)



Suatu malam, saya bermimpi menjadi host disebuah acara talk show televisi. Meski tak semegah milik Oprah Winfrey Show, tak sehebat Kick Andy, tak setajam Mata Najwa, juga tak selucu Bukan Empat Mata  atau Show Imah, acara ini sangat berarti dan menyenangkan. Mungkin karena menjadi reporter atau wartawan adalah satu mimpi kecil lain saya.  Tamu yang datang ke acara talk show saya juga bukan siapa-siapa, bukan publik figur tenar, hanya penduduk biasa, mantan pejabat rendahan di republik ini.   
Fisically tak ada yang menarik dari bintang tamu saya kali ini, tinggi kurang lebih 170 cm dengan bobot tubuh sepertinya kurang berolah raga atau paling tidak cabang olah raga favoritnya adalah berburu kuliner. Suku bangsa Jawa tapi sepertinya juga sudah tidak perduli dengan kejawaannya. Rambut menipis terutama di bagian belakang. Hidungnya sedikit besar, yang kata orang sebenarnya membawa hoki, tapi sepertinya belum memperlihatkan tuahnya, setidaknya hingga saat ini.
Tanpa panjang lebar, berikut petikan interview saya (Q atau Question) dan mantan pejabat ecek-ecek tersebut (W atau Answer). O ya... acara ini bukan acara live, sehingga untuk alasan keamanan dan kenyamanan bersama (terutama sang narasumber), editor saya telah menghilangkan beberapa bagian yang sensitif tersebut.

Q                :     Hallo mas....
A                :     Hallo juga...
Q                :     Sehat ya?
A                :     Pertanyaan seperti  ini, sekarang paling sering saya terima. Terutama berasal dari mereka yang pernah mengenal saya. Lewat sms, bbm, facebook atau whatsapp.. he..he..  Alhamdulillah sehat dan baik-baik saja.
Q                :     Langsung saja ya, apa sih arti hidup bagi anda?
A                :     Saya orang jawa, falsafah jawa mengajarkan bahwa hidup itu mung mampir ngombe, hanya mampir untuk minum dari sebuah perjalanan yang maha panjang. It is like a shelterof life. Saya berupaya menjadikan hidup ini berguna, setidaknya bagi diri sendiri dan orang orang terdekat. Terlalu naif kalau saya mampu berguna bagi nusa bangsa dan negara. Saya berupaya memulai dari lingkungan yang kecil. Teori sistem mengatakan begitu....
Q                :     Kalau keluarga?
A                :     Keluarga adalah segalanya. Apapun yang kita lakukan, toh semua akan kembali untuk keluarga. Ini hukum alam. Orang tua kita membesarkan kita dan mengantarkan kita untuk bisa hidup, dan kini saatnya kita membesarkan anak-anak kita untuk menjadi generasi yang lebih baik dari kita. Saya beruntung mendapatkan paket yang komplit dari Tuhan. Alhamdulillah, thanks God. Istri dan dua anak yang sangat-sangat spesial.....  I’m a family man. Waktu-waktu spesial adalah kala bersama keluarga....
Q                :     Bagaimana dengan pekerjaan anda sebelumnya?
A                :     Well, saya harus mengatakan bahwa menjadi *** adalah spesial. Saya tidak pernah merasakan rasanya bekerja di bidang lain sebelumnya, sehingga saya merasa bahwa ini adalah way of life. Selepas dari SMA saya langsung sekolah kedinasan, lulus langsung bekerja. Mimpinya langsung jadi Cam**... he..he... Indoktrinasi yang sempurna, meski kenyataannya tidak semudah itu. Anda memasuki sebuah hutan belantara, bekal anda hanya idealisme, dan anda harus survive. 
Q                :     Bagaimana ketika misalnya harus meninggalkan pekerjaan tersebut?
A                :     Hidup itu pilihan. Datang dan pergi juga sudah menjadi hukum alam. Cepat atau lambat kita harus pergi. Tuhan seringkali menguji manusia seperti ini, mengambil sesuatu yang amat dicintainya.
Q                :     Termasuk pekerjaan?
A                :     Ya.. (menarik nafas panjang...) Duapuluh tahun hidup saya berseragam *****, tak ada salahnya ketika kita harus mencoba hal lain. Pasti berat. Tapi itu tantangan, bukan masalah.
Q                :     Atau anda kecewa, maaf, dengan sesuatu atau sistem yang ada?
A                :     Begini, tak ada yang salah dengan sistem. Semua kembali pada mereka yang menjalankan sistem tersebut. Lihat ke negara tetangga kita, Singapura, pandangan kita sistem di negara tersebut  berjalan dengan baik, sehingga orang-orang (siapapun dia) sangat patuh dan hukum berjalan dengan baik, meski sangat jarang sekali kita lihat polisi di berbagai tempat, tapi sangat aman dan tertib sekali... termasuk untuk membuang sampah atau ludah sama sekali. Tapi siapa bisa menjamin bahwa warga negara Singapura juga bisa berlaku seperti itu di tempat lain. Bukan rahasia umum, bahwa mereka membuang sisi-sisi kemelayuannya, maaf.. he.. misalnya dengan merokok, menyeberang jalan, atau membuang sampah sembarangan dengan liburan ke Batam atau ke Johor... he..he..
Q                :     Kalau begitu orangnya yang membuat anda kecewa?
A                :     Sulit untuk membuang sisi hitam dari hidup saya dengan tidak mengatakan bahwa saya kecewa dengan mereka. Tapi menyalahkan orang lain juga tidak menyelesaikan semua masalah, bahkan akan membuat kita semakin terluka. Saya fikir selama ini saya  hanya membuang waktu karena berharap orang lain akan menolong dan membantu kita karena kita telah melakukan ini, telah berbuat itu, telah menghasilkan sesuatu....  Saya salah besar. Karena ternyata saya bukan siapa-siapa....
Q                :     Kenyataannya anda telah menghasilkan prestasi, yang sedikit banyak juga mengharumkan nama daerah tersebut dan juga para pemimpin anda juga?
A                :     Ha3.. Saya bukan siapa-siapa. Dan itu tak berarti apa-apa ketika anda pergi...
Q                :     Ok... arti prestasi bagi anda?
A                :     Buah dari kerja keras kita, bukti dari kita telah melakukan sesuatu untuk masyarakat. Sekedar ekstasi untuk melangkah lebih jauh lagi. Yang terpenting adalah bagaimana masyarakat bisa berubah dan bersemangat untuk membangun dan merubah lingkungannya. Saya sangat sedih ketika setelah lomba, semuanya kembali seperti sedia kala... tak ada perubahan, terutama secara sosial.
Q                :     Kalau boleh tahu, mana yang paling berkesan bagi anda dari prestasi-prestasi tersebut?
A                :     Ada sebuah prestasi yang sampai ke tingkat nasional. Mengantarkan local gov. first lady menerima Piala tersebut di Kalimantan. Tapi yang lebih berkesan dari saya adalah, saya berangkat dari nol, membina wilayah tersebut dari nol bukan hasil kerja pejabat sebelumnya. Ketika saya melakukan kunjungan di wilayah tersebut, saya berdialog apakah mereka pernah mengikuti perlombaan, kenapa di balai warga tidak ada piala satupun? Ternyata mereka memang belum pernah ikut dan saya tantang, maukah ikut lomba? Mau.. oke..mari berjuang bersama-sama. Finally kita berjuang dari tingkat paling bawah, sampai juara tingkat lokal, regional dan akhirnya ke tingkat nasional.
Q                :     Jadi strategi anda sebenarnya mengajak?
A                :     Tidak hanya mengajak, tapi saya juga memberi contoh...  Saat ini tidak bisa menjadi pemimpin hanya pakai jengkol, pakai sk, pakai seragam, main tunjuk sana sini. Sebagai contoh, ketika saya sampaikan bahwa lingkungan harus hijau dan teduh, saya berikan contoh dengan memberikan pot-pot bunga sekaligus dengan tanamannya, ketika efeknya terlihat, secara swadaya akhirnya mereka juga akan melakukan. Contoh lain, ketika melihat jalanan kotor, saya tinggal ambil sapu, dan ketika lihat saya menyapu, mereka malu dan ramai-rami keluar rumah untuk menyapu... ketika semuanya  ramai-ramai menyapu, saya berhenti dan jadi suporter mereka... ha3.....
Q                :     Apa yang anda dapatkan? Materi misalnya?
A                :     Alhamdulillah... kepuasan. Itu tak ternilai. Untuk materi, no comment....... Bukan  itu ukurannnya..... Untuk pergi ke acara puncak di Kalimantan saja, istri saya harus pake tiket atas nama seorang pegawai di kantor pemerintah lokal karena memang tidak ada rencana untuk ikut, saya pun last minute harus berangkat sendiri karena dadakan harus ikut. Malas sebenarnya.... karena harus mengeluarkan uang sendiri untuk kesana..... Beda dengan sekarang, baru juara tingkat provinsi saja sudah diajak pergi ke acara di tingkat nasional.....  (matanya tampak berkaca-kaca). Yah... rezeki orang berbeda-beda.... Respek dan penghargaan dari masyarakat jauh lebih penting dan bermakna.
Q                :     Kalau tempat kerja yang paling berkesan?
A                :     Semua tempat kerja sebenarnya berkesan. Masing-masing membentuk saya, proses pendewasaan tidak bisa sekejap.. proses belajar saya dapatkan di semua tempat saya bekerja.
Q                :     Harus dalam term of superlative...
A                :     Maksa nih..... Hmmmm...  Kalau harus memilih, tempat terakhir adalah tempat terhebat. Tempat saya benar-banar mandiri dan membentuk kepemimpinan saya. Tidak mudah memimpin 40.000 orang dalam usia yang relatif muda. Untungnya karekristik masyarakatnya cocok dengan saya, relatif well educated, rasional... Namun setiap masyarakat tentu saja unik. Tantangannya juga berbeda... Kalau ditempat lain, belum tentu saya cocok.
Q                :     Dukungan staf dan atasan langsung?
A                :     Ini juga faktor paling penting.... Saya mendapatkan dukungan sumber daya staf  kelas satu. Dan pastinya susah kalau kita berhadapan dengan orang-orang kelas satu kalau kitanya tidak berkelas satu juga... ini tantangan bagi saja untuk terus improve.. day by day.. growing better, of course with them. Atasan langsung juga saya beruntung mendapatkan pimpinan yang hebat, bukan sekedar pimpinan, beliau juga bisa menjadi teman, kakak, lawan diskusi dan boss yang baik....
Q                :     Lingkungan yang mendukung ya? Sepertinya mudah...
A                :     Saya beruntung mendapatkan lingkungan seperti itu. Tapi sebenarnya tidak juga.... Karena tantangannya pasti juga lebih berat. Ibarat kata kalau kita jadi pelatih di Liga Premier Inggris dan harus melatih klub top five seperti MU Arsenal, Chelsea atau Liverpool... targetnya harus selalu juara. Bahkan kalau piala yang didapatkan hanya sekelas Piala Liga, itu bukan prestasi... harus minimal Juara Liga atau kalau bisa juara Liga Champion. Beda kalau kita menangani klub sekelas Fulham, QPR, Westham.... bisa lolos dari degradasi aja sudah jadi prestasi....  Menjadi pelatih  MU adalah mimpi semua pelatih top dunia, tapi menggantikan Alex Ferguson, tidak semuanya mau...  So, tidak ada yang mudah. Menangani yang kelas satu atau KW 3, sama-sama punya tantangan yang berbeda....
Q                :     Dari tadi serius topiknya.... Hobi anda?
A                :     Hobi standar... baca. Travelling sekali-kali...
Q                :     Reenacment masih?
A                :     Masih.... tau aja.... (ketawa... berbinar).  Masih newbie kok... Senang bertemu dengan teman-teman yang sehobi. Hobi yang menurut orang lain mungkin gila... Menirukan kok tentara Nazi, begitu mungkin mereka fikir. Yah justru disitu uniknya. Tidak semua tentang Nazi atau Waffen SS jelek. Ada juga sumbangannya dalam peradaban manusia, seperti teknologi militer yang mereka pakai, sekarang diadopsi oleh tentara-tentara modern. Yang paling penting... kita belajar sejarahnya, bukan belajar jadi orang-orang yang haus perang. Semua perang itu kejam, harus dihindari...
Q                :     Kegiatan anda sekarang?
A                :     Penginnya diundang dan jadi bintang tamu talkshow begini setiap hari.... he..he.. Biar kaya Arya Wiguna atau Kiwil gitu....
Q                :     Ha..ha....  Emang ada yang mau acaranya bangkrut?
A                :     Kali aja ada produser yang gila...
Q                :     Serius...
A                :     Ngurus kedai, ngajar, ternak teri... Maksud anda nganter anak dan istri, ke kantor dan ke sekolah. Saya beruntung masih diberikan kesempatan untuk ngajar, entah sampai kapan saya dipercaya...
Q                :     Harapan anda ke depan?
A                :     Life must go on. Terus berjuang untuk hidup, dengan atau tanpa bantuan orang lain. Karena pada akhirnya, hidup kita kita sendiri juga yang menentukan. Bukan orang lain.. baik buruk nya kita yang memilih... Orang lain mungkin bisa kasih support, doa atau kata-kata mutiara dan motivasi yang indah, namun pada akhirnya kita juga yang ngejalanin...  Mudah-mudahan ini awal dari kehidupan baru yang lebih baik lagi. Keep praying and do something saja.
Q                :     Pengin kembali lagi?
A                :     Dalam kondisi normal, iya.... Dalam kondisi saat ini, saya belum menemukan passion. Terlalu banyak kekecewaan dan itu tidak bagus sebagai lingkungan kerja. Tapi semua ada di tangan Tuhan, who knows that it happened some day?
Q                :     Baik mas.... Terima kasih atas waktunya. Sampai ketemu lain waktu ya....
A                :     Sama-sama.


Durasi wawancara yang diberikan oleh produser memang tidak terlalu lama, mungkin takut ratingnya jeblok dengan mengundang orang yang tidak terlalu penting, tapi saya berharap mudah-mudah ada hal-hal yang bisa dipetik dari wawancara tersebut. Berharap bisa masih jadi host televisi dengan bayaran yang tinggi pula.... Sayang, istri saya ngebangunin saya untuk sholat subuh.




Dari Buku GERWANI Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan, Bukan Resensi Buku, tapi sekedar Refleksi



Pertama tertarik buku ini jelas karena judulnya yang sedikit provokatif  dan abu-abu. Reformasi tidak serta menghapuskan ingatan masyarakat akan komunisme dan sepak terjangnya yg sudah mendarahdaging dan  terindoktrinasi lewat pelajaran PMP, Penataran P4 dan tentu saja film Pemberontakan G30S/PKI. Tapi alasan yang lebih kuat, saya tertarik pada nama Plantungan yang pernah menjadi tempat kemah dan hiking masa jadi pandu di SMA dulu. Yang saya tahu dulu itu penjara bagi anak2 negara (yang katanya nakal), itu saja.

Dan memang para narasumber dalam  buku ini ternyata sangat fasih menggambarkan alam dan kondisi kamp serta Plantungan pada umumnya. Plantungan, nama satu daerah yang terletak di barat daya Kabupaten Kendal, merupakan daerah yg sejuk (bahkan super dingin pada saat malam) berada di kaki gunung Slamet  Tidak jauh berbeda dengan yang saya lihat pada masa lalu. Hijau, dingin, penuh batuan tektonik, air terjun dan tentu saja.... misterius.

Ternyata buku yang aslinya adalah disertasi doktoral di universitas Indonesia ini, jauh dari kesan seram komunisme, karena penulis buku tersebut ternyata juga tidak mempropagandakan ideologi komunis yang terlanjur dicap sebagai golongan tak bertuhan, menghalalkan segala cara, tak beradab dan haus darah. Terlebih gambaran tentang Gerwani yang ditelanjangi habis-habisan sebagai representasi wanita penyokong komunis yang doyan pesta, hura-hura dan sadis. Buku ini bahkan jujur menggambarkan sikap dan sifat adanya sebagian rekan-rekan Tapol  yang oportunis, mau menjual harga dirinya demi sedikit previlege dan kebebasan, meski itu berarti harus menjadi cecunguk dan juga gundik dari petugas kamp.

Satu hal yang sangat menyentuh adalah, bahwa tidak semua dari mereka sebenarnya benar-benar bersalah, ada juga yang sekedar ikut-ikutan atau yang paling tragis adalah korban salah tangkap. Komunisme pada saat itu benar-benar menjadi wabah mematikan nomor satu. Sekali anda memenuhi undangan rapat, dan daftar hadir tersebut ternyata adalah penyelenggaranya partai yang kemudian dinyatakan terlarang, tamat sudah riwayat anda. Atau ada orang yang sirik dan benci dengan anda, mudah sekali memfitnah anda sebagai (simpatisan) komunis dan mengirim anda ke kamp tanpa pengadilan, apalagi jika orang tersebut punya akses ke aparat keamanan.

Dari buku tersebut juga terbaca, bahwa Pancasila sebagai sebuah ideologi seringkali hanya menjadi alat untuk mencapai tujuan. Karena mereka yang seharusnya mengajarkan, justru mempraktekkan hal-hal yang sangat bertentangan dengan kelima sila dan 36 butir-butir pengamalannya (ada yang masih ingat?). Cara-cara interograsi dan pemberian hukuman sungguh jauh dari kata beradab dan bertentangan dengan bangsa yang katanya sangat menghargai wanita. Tak perlu dideskripsikan disini, yang jelas sangat menjijikkan dan sungguh membuat mual membacanya.

Paradoks. Disatu sisi mendoktrinkan Pancasila yang adiluhung, disatu sisi mempraktekkan tindakan yang tidak berprikemanusiaan yang adil dan beradab. Begitu jidatnya terstempel komunis, itu berarti manusia itu bukan lagi manusia, tetapi benda hidup yang bisa diperlakukan apa saja. Jadi wajar jika diperlakukan tanpa perikemanusiaan, karena sudah dianggap bukan manusia lagi. Plantungan yang pada jaman Belanda didesain menjadi pusat pengobatan bagi penderita kusta/lepra, pada jaman Orba disulap menjadi pusat rehabilitasi penderita lepra politik berjenis marxis-komunis. Dan "sejarah selalu ditulis oleh para pemenang".

Adagium kedua "Sejarah selalu berulang". Meski tidak pernah sama persis, sejarah selalu berulang dalam wujud, tempat, ideologi dan aktor yang berbeda. Hitler pastilah akan disandingkan dengan Julius Cesar dalam hal ambisinya menguasai Eropa, termasuk simbol-simbol yang digunakan. Imperium Jerman adalah copy paste dari Imperium Romawi. Fatwa perang Goerge Bush ke Irak, tak dapat dipungkiri adalah upaya imperialisme modern dengan semboyan semboyan  3G (Gold, Glory, God) juga. Perang melawan terorisme dan Saddam Husein adalah panggilan suci.   Perang akan selalu terjadi, dengan motif yang ujung-ujungnya sebenarnya atas nama  ekonomi dan harta duniawi...

Kini komunisme memang kurang relevan untuk menjadi barang dagangan, seiring dengan runtuhnya USSR, Paman Ho dan Paman Mao yang makmur dan mulai senang berdagang dan sangat kapitalis secara ekonomi, Kuba menjadi olok-olok karena tak lebih dari musium hidup tahun 50-60an, Korea Utara yang komunis totok menjadi cermin buruk dengan kemiskinan dan kelaparan, terlebih jika dibandingkan dengan saudaranya di semenanjung selatan yang sejahtera, modern,  gemerlap dan ceria sebagaimana senyum boyband dan girlband-nya. Korean waves era.

Hak asasi manusia juga kurang laku diperdagangkan, karena membutuhkan orang-orang yang kuat mental dan berani mati seperti Munir. Pelakunya juga semakin berkurang seiring menguatnya peran sipil dalam tata kelola pemerintahan dan yang paling penting, jarang yang mau bersentuhan dengan orang-orang dan institusi bersenjata.. Resikonya sudah sangat jelas. Korupsi jelas menjadi isu yang sangat seksi di jaman reformasi kini. Kebangkrutan bangsa ini diyakini akibat dari budaya dan tindakan koruptif. Definisi korupsi juga semakin diperlebar, bukan saja bagi mereka yang merugikan keuangan negara, tetapi yang memperkaya diri sendiri. Mungkin dengan definisi yang pertama, aparat penegak hukum agak sulit menjerat. Dapat dimaklumi jika kemudian angka-angka uang yang kembali ke kas negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat menjadi tidak terlalu penting. Jangan-jangan biaya untuk penyelidikan, penyidikan, peradilan dan penghukuman kasus korupsi jauh lebih besar ketimbang uang yang bisa diselamatkan dan kembali ke kas negara...


Sama seperti di Plantungan dulu, proses pemberantasan korupsi juga rentan dengan tindakan-tindakan yang justru berbau korupsi. Ironis. Dengan kekuasaan yang dimiliki saat ini, membidik mereka yang menyalahgunakan kekuasaan, sangatlah mudah. Terlebih membidik eksekutif dan legislatif yang secara fisik tidak memiliki sumber daya, dan yang paling penting, they have no espirit de corps, mudah dipecah belah. Praktek-praktek korupsi, dari jaman purba sampai sekarang motif dan modusnya tidak berubah, teknologi dan kemasannya saja yang berbeda. Tanpa bermaksud mengkambinghitamkan "sistem", proses dan siklus anggaran kita sangat rentan dari tindakan koruptif, meski tidak semuanya mempunyai motif korupsi, setiap ketidaktahuan, mal-administrasi pun bisa berakibat fatal.

Saat ini kita beramai-ramai dan kompak meneriakkan korupsi, tanpa menyadari bahwa sehari-hari kita banyak mengambil hak orang lain. Mengambil hak orang lain dan merugikan orang lain, bukankah itu esensi utama korupsi? Sekedar aktivitas sehari-hari yg biasa kita lakukan dan kita temukan (hanya) di Indonesia: menyerobot lampu merah, menyerobot trotoar buat dagang, dateng telat ke kantor, nyontek waktu ujian, 86 ketika ke gap polantas, beli tiket bola kriting di stadion, nyedot lagu dan film habis2an dari internet atau beli dvd bajakan di kaki lima, darmaji (dahar 5 ngaku hiji alias makan lima ngakunya satu), ngasih pelicin buat masuk kerja, ngasih tip buat petugas kelurahan,  dan masih banyak lagi perilaku koruptif kita...

Kita gak usah bicara tentang aparat penegak hukum yang seharusnya menjadi garda terdepan, tetapi justru mempraktekkan korupsi terhadap tersangka dengan memperjualbelikan pasal. Diri kita sendiri yang terkadang jijik dan marah dengan perilaku koruptif "selebritis" ala Gys, DS, AF dll ternyata juga mempraktekkannya dalam kehidupan sehari2...

Tulisan ini jauh dari  maksud menyamakan antara komunisme dan korupsi. Sekedar refleksi saja,  bahwa euforia saat ini sangat banyak yang bermain2 dan menikmati "gerakan anti korupsi" dengan perilaku yang sangat koruptif.
 

Plantungan mungkin tinggal sejarah, tapi sejarah selalu berulang.
Salam.

Saturday, June 29, 2013

Kematian Orang-orang Baik

Beberapa waktu lalu kita kehilangan salah satu ustad muda yang  fenomenal, ustad Jeffry Al Bukhari. Role model yang pas untuk dakwah dikalangan anak muda. Ketika kita disuguhkan dengan metode dan model dakwah yang konvensional, beliau hadir dengan paket yang komplit dan lengkap. Masa lalu yang gelap justru menjadikan bahan dakwah yang nyata, tidak berasal dari katanya. Dan yang paling penting, pesan yang disampaikan oleh almarhum adalah bahwa semua orang bisa berubah selama yang bersangkutan mau merubahnya. 

Tak pelak semua hal tentang beliau menjadi santapan media media massa untuk dieksploitasi habis-habisa, semua hal yang bisa menaikkan oplah dan rating, dari berbagai macam sudut. Termasuk ulah oknum yang memanfaatkan meninggalnya beliau dengan berita dan gambar hoax tentang awan bergambar anak kecil yang sedang berdoa. Yah.. apapun itu, saya yakin bukan karena ekspos media maka pelayat dan pentakziah datang berduyun-duyun bukan saja saat mengantarkan ke peristirahatan terakhir, tetapi juga ketika ritual tahlian selama satu minggu penuh, dan juga ketika 4o harian. Tetapi saya meyakini bahwa beliau  memang orang baik dan menjadi panutan ummat, so semua penghormatan adalah tepat dan layak.

Saya jadi ingat, bahwa konon orang-orang baik justru dipanggil seringkali dipanggil terlalu cepat oleh Tuhan (tetapi, tetap saja semua rahasia Allah SWT kan?). Namun, ukuran baik buruk pada akhirnya juga menjadi relatif. Bagi sekelompok masyarakat dan terutama pendukungnya, tentu saja akan menjadi pahlawan, dan bagi masyarakat lainnya (terutama musuh-musuhnya) bisa jadi menjadi pecundang. Terlalu banyak contoh seperti itu dalam sejarah maupun legenda. Rahwana bagi mereka penggemar epos Ramayana (terutama daratan Hindustan) adalah pecundang dan musuh yang harus ditumpas, namun bagi orang Srilangka Tamil Rahwana adalah pahlawan dan ksatria pembela tanah air dari serbuan Rama cs. Contoh ekstrim, Westerling adalah penjahat perang bagi masyarakat Makasar dan Bandung dengan Angkatan Perang Ratu Adilnya yang  haus darah. Apa mau dikata, pemerintah Belanda dengan segala upaya melindunginya sebagai veteran dan pahlawan perang yang berupaya menegakkan panji-panji kerajaan orange di tanah jajahannya.

Gravillo Princip adalah patriot bagi masyarakat Serbia, meski dia adalah penyulut Perang Dunia I yang memakan puluhan juta orang dengan menembak putra mahkota Austria-Hungaria, Franz Ferdinand dan istrinya di Sarajevo. Deretan gentong abu jenazah di Kuil Yazukumi di Jepang juga dengan diam-diam kunjungi dan disakralkan oleh para petinggi pemerintahan dan kekaisaran Jepang meski oleh negara-negara tetangganya yang pernah merasakan serbuan tentara Dai Nippon di perang dunia II mereka tak lebih para penjahat perang. Dari negeri sendiri, Gajah Mada, mahapatih dari Majapahit atau Sultan Agung Hanyakrakusuma, sultan pertama Mataram Islam, adalah pahlawan bangsa dengan politik integrasi nusantaranya, namun bagi sebagian masyarakat (Sunda katakanlah) mereka adalah musuh besar. Dan masih banyak kalau mau dijajarkan disini contoh-contoh tersebut....

Dalam era modern, kematian orang besar bukan saja berada dalam pendulum baik buruk, tetapi berada dimana kematian tersebut dalam karir seseorang. Kut Cobain tidak akan selegenda ini kalau dia tidak menembakkan revolver di kepalanya dalam usia muda. Elvis Presley, John Lennon, Bruce Lee, Michael Jackson tidak akan lebih besar dari ini kalau tidak meninggal di puncak ketenarannya. Contoh di Indonesia mungkin penyanyi pop Nike Ardilla yang masih dipuja oleh sebagian penggemar fanatiknya. Komodifikasi dan publikasi menambah popularitas mereka ketia sudah di alam baka...

So, seorang penjahatpun pada dasarnya masih punya kesempatan untuk mendapatkan penghormatan ketika dia mati. Terlebih di negeri ini, ketika benar dan salah sangat relatif tergantung penafsiran sekelompok orang (dan biasanya yang punya kuasa baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif). Negeri yang penuh dengan ironi... Seorang yang bicara di depan forum sosialisasi, penyuluhan atau diskusi tentang hukum, tak jarang dia paling sering melanggar hukum karena tahu celah-celah mana yang bisa dihindari. Orang yang paling kenceng bicara tentang anti korupsi dan merasa paling bersih, ternyata rakus memakan uang negara. Benar kata falsafah, ketika kita menunjuk (menuduh) seseorang dengan telunjuk kita, ternyata tiga jari menunjuk ke diri sendiri...

Ah... kematian tetap saja rahasia Tuhan. Menjadi orang baik, tidak perlu persepsi orang lain di negeri ini. Lakukan yang terbaik apa yang menurut kita baik, bermanfaat bagi orang lain dan tidak mencelakai orang lain. Itu lebih dari cukup. Toh, seberapapun orang yang mengantar kita ke liang lahat, setinggi apapun jabatan kita, sebanyak apapun harta kita, kita cuma dibekali oleh baju paling laku didunia (karena tidap hari pasti ada yang beli) yaitu kafan dan tentu saja tiga hal utama: doa anak yang sholeh, ilmu yang bermanfaat dan amal jariah kita... Tiga hal yang akan menjadi pengacara kita di pengadilan akhirat nanti.


(Epilog: Andai ku tahu kapan ajalku...)


 


 

Masyarakat yang Terbelah



Pikiran Rakyat, Rabu, 9 September 2008 hal 20


Belum lekang dari memori kita berbagai peristiwa bentrok antar anak bangsa di belahan bumi Indonesia dalam berbagai tajuk dan tema, mulai dari sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)  hingga protes kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang memakan korban dari kedua belah pihak yang bertikai. Diawal Bulan Juni ini, kita dikejutkan dengan peristiwa yang dikenal sebagai Tragedi Monas, yang dilakukan oleh Komando Laskar Islam (KLI) dan kelompok yang menamakan diri sebagai Front Pembela Islam (FPI) pada hari Minggu tanggal 1 Juni 2008. Peristiwa tersebut berbuntut dengan proses balas dendam berupa pengrusakan markas FPI di Cirebon dan Yogyakarta yang diakhiri dengan saling serang dan keroyok (TV One, 2 Juni 2008)

Miris jika kita membayangkan tayangan tersebut direlay oleh jaringan televisi global dan ditonton oleh jutaan pasang mata di berbagai penjuru dunia. Kita tinggal menunggu perspektif negatif yang akan segera muncul dibenak orang luar negeri menyimpulkan apa yang terlihat di televisi : stereotipy masyarakat Indonesia yang anarkhis, brutal dan intoleran!

Visualisasi yang kita lihat di media massa (televisi terutama) tersebut seakan-akan melunturkan citra bangsa Indonesia yang seringkali dikampanyekan (dan mengklaim diri) sebagai bangsa yang sabar, penuh sopan santun, ramah, mampu mengendalikan diri dan beradab. Mengapa sedemikan drastis kondisi kehidupan sosial budaya bangsa kita mengalami degradasi? Mengapa kerusuhan demi kerusuhan dalam berbagai skala dan eskalasi konflik seakan arisan dari satu tempat ke temapt lain di Indonesia? Apakah ini merupakan ekspresi budaya yang sebenarnya  dari masyarakat kita?
 
Ekspresi Demokrasi?
Berbagai benturan yang terjadi di Indonesia baik yang bersifat vertikal maupun horinsontal seringkali diawali dari kegiatan demonstrasi. (sebagaimana yang terjadi di Monas kemarin). Sebuah aktivitas menyampaikan pendapat yang diyakini sebagian masyarakat kita sebagai indikator dari kemajuan demokrasi. Sebuah keyakinan yang sebenarnya menyesatkan, jika output dari demonstrasi seringkali berujung pada prosesi brutal, saling serang, saring melukai dan saling menghancurkan. Sebuah ironi ditengah pujian untuk  Indonesia sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia setelah Amerika Serikat dan India...

Format demokrasi saat ini sebagai buah dari gerakan reformasi satu dasawarsa yang lalu, dapat dikatakan masih berada dalam fase belajar, yang sayangnya hingga kini tidak pernah belajar menjadi dewasa. Berbagai produk undang-undang politik yang ada saat ini, sebenarnya jauh lebih demokratis dari pada produk masa rejim Orde Baru, namun pada implementasinya belum mampu mengatur dan mengarahkan perilaku dan budaya penyampaian aspirasi massa yang lebih beradab. Anarkisme bukan saja dipertontonkan oleh masyarakat kalangan bawah di jalanan, tetapi juga oleh para elit yang tidak mampu menahan syahwat kekuasaannya dalam gedung dewan yang terhormat.

Setelah sepuluh tahun lepas dari cengkeraman kekuasaan otokrasi ”daripada” rezim Suharto yang sangat sentralistis, saat ini demokrasi dimaknai sebagai pemusatan kekuatan pada sekelompok masyarakat yang merasa lebih (superior) dari kelompok masyarakat lainnya. Yang terjadi adalah, proses demonstrasi sebagai ajang to show off force dan to intimidate pihak lain. Saat ini, beberapa elit (politik maupun agama) dengan sangat vulgar mempertontonkan kemampuan mereka dalam memobilisasi massa untuk memaksakan kehendaknya dengan cara-cara yang sangat jauh dari “kamus peradaban manusia.” Atas nama keyakinan dan ideologi yang mereka anut, mereka mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan dan hukum demi sebuah pembenaran terhadap tindakan menyakiti dan menyerang pihak lain. Kebencian terhadap pihak lain diinternalisasikan secara sistematis kepada setiap anggota kelompok bak organisasi multi level marketing professional.

 Struktur dan Sistem Sosial

Situasi yang tercipta saat ini pada dasarnya merupakan rekonstruksi dari struktur sosial dan sistem budaya yang terbangun sejak dulu di Indonesia. Harmonisasi masyarakat majemuk Indonesia yang ciptakan oleh pemerintahan Orde Baru terbukti semu dan bersifat artifisial. Ketika sudah tidak mampu lagi merawat wajah negeri ini, ketika hantaman eksternal menyerang negeri ini, terlihat rona asli wajah negeri kita yang ternyata sangat rapuh dalam persatuan, sangat intoleran dalam kebhinekaan, dan sangat biadab dalam kemanusiaan.

Selama kurang lebih tiga puluh dua tahun, penguasa Orde Baru  mengelola negeri ini dengan pendekatan positivistik. Sebuah pendekataan yang memberhalakan stabilitas nasional untuk dan atas nama pembangunan. Berbagai perbedaan dan  keanekaragaman Indonesia hanya terpampang dalam untaian semboyan negara yang dilustrasikan melalui tulisan pada  pita dalam lambang negara kita. Keberagamaan dan perbedaan tersebut dianggap sebagai handicap bagi proses pembangunan. Bisa dimaklumi jika ekspresi keberagaman dan perbedaan tersebut senantiasa dapat diredam oleh kekuasaan pada saat itu. Melalui atau tanpa kekuatan militer yang menjadi penjaga utama pemerintahan otoriter ode baru.

Dan ketika tirai reformasi dibuka, masyarakat kita mengalami gegap demokrasi, karena kita yang selama ini mengalami proses penyeragaman oleh pemerintah masa lalu, ternyata tidak terbiasa menerima perbedaan. Uforia demokrasi tersebut mengakibatkan proses penterjemahan makna demokrasi menjadi ”siapa kuat dia berkuasa” atau  ”siapa banyak kawan dia dominan”.

Indonesia adalah sebuah negeri yang penuh warna, semarak dengan perbedaan dan indah dalam keberagaman. Ketidaksamaan yang mengisi struktur masyarakat Indonesia adalah sebuah realitas sosial yang tak terbantahkan. Heterogenitas kita terlihat dari Homogenity Index yang menempatkan Indonesia dalam skor 24 dari skor homogen tertinggi 100. Atau duduk di peringkat 119 dari 135 negara yang diteliti. Indeks homogenitas ini didasarkan pada keberagaman ras, agama dan bahasa. Semakin besar angka indeks yang diperoleh, maka semakin besar pula kemungkinan negara tersebut homogen (Library Congress). Kita bukanlah Korea (Utara atau Selatan) yang mempunyai angka homogenitas sempurna karena mereka mempunyai ras, bahasa dan agama yang nyaris seragam.

Ini berarti, struktur masyarakat Indonesia bisa digambarkan dalam berbagai garis baik yang bersifat vertikal, horisontal maupun diagonal dalam sebuah bidang visualisasi dari apa yang dinamakan “masyarakat Indonesia”. Garis yang saling menyilang tersebut dapat berupa garis yang menunjukkan berbagai perbedaan yang ada di negeri ini, mulai dari agama, etnis, budaya, ideologi politik, ekonomi dan sebagainya. Kita tidak dapat meniadakan garis-garis tersebut karena itu adalah sebuah realitas dan keniscayaan masyarakat Indonesia.

Jika kita menganggap bahwa garis-garis tersebut membelah dan memisahkan kita dengan kelompok lain karena mereka berbeda dan berlawanan dengan kita, garis yang tercipta akan semakin terlihat tebal dan membuat sekat dengan pihak lain tersebut. Ruang-ruang kosong yang tercipta tersebut akhirnya akan menjadi jurang dan berongga dalam yang dengan mudah akan disusupi oleh semangat kebencian, prasangka (prejudice), dan selanjutnya dimanifestasikan dalam sikap memusuhi terhadap kelompok lain. Ruang kosong yang membelah struktur masyarakat tersebut adalah tempat ideal bagi mereka yang menginginkan kekacauan dan anarkhi dalam masyarakat, dengan menjadikan kondisi carut-marut sosial yang penuh dengan aroma kemiskinan, kebodohan, keputus-asaan dan ketidak-percayaanpada institusi pemerintah sebagai pemicu (trigger) kerusuhan.

Kondisi sosial ekonomi dan politik Indonesia secara keseluruhan saat ini juga menjadi alasan mengapa begitu mudah sebuah kelompok menyerang kelompok lain sebagai kambing hitam. Ini terlihat dari alasan Kelompok FPI menyerang Alainsi Kebangsaan  untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) yang diyakini sebagai penghalang bagi upaya mereka untuk membubarkan Ahmadyah di Indonesia. Dollard (1967) dalam teori frustasi-agresi (frustation-agression theory) mengatakan bahwa orang akan melakukan agresi manakala usahanya untuk memperoleh kepuasan terhalang. Jika agresi tersebut tidak dapat ditujukan pada pihak yang menghalangi usahanya, maka agresi tersebut dialihkan (displaced) ke suatu kambing hitam (scapegoat).

Namun demikian, jika kita masih percaya bahwa keberagaman warna dalam pelangi adalah sebuah keindahan, kitapun dapat meyakini bahwa keberagaman yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia adalah sebuah anugerah Tuhan yang harus bisa dinikmati oleh semua elemen masyarakat yang ada di Indonesia, sekalipun mereka berbeda dengan dengan kita.

Pada akhirnya, harus diakui bahwa proses integrasi nasional yang terjadi saat ini, masih diwarnai dengan berbagai tarik ulur kepentingan, baik yang bersifat primordial, ekonomis, maupun politis. Proses ini terus dan tengah berjalan sebagai bagian dari upaya manusia yang senantiasa mencari bentuk masyarakat yang ideal dan penuh keseimbangan atau equilibrium (Parsons, 1952). Sebagai sebuah masyarakat organik, ketidakseimbangan sekecil apapun bagian atau elemen dari sebuah struktur masyarakat, akan mempengaruhi sistem kemasyarakatan tersebut secara keseluruhan. Kuncinya adalah, kita harus belajar menerima kenyataan bahwa kita adalah bagian dari sebuah masyarakat yang sangat beragam. Jangan biarkan Indonesia terbelah.. dan pecah!